2016/03/22

Suta Ono, Pahlawan atau Antek Belanda?

Bulan Pebruari 2001, di tengah suasana yang "tidak biasa" di Sampit, penulis pertama kali mengenal nama Suta Ono dan mendengar cerita tentang kesaktiannya. Ketika itu penulis bersama beberapa orang rekan dianjurkan untuk membawa "basal" atau jimat yang isinya adalah potongan kain jubah Suta Ono. Konon menurut cerita, ketika Suta Ono mengenakan jubah tersebut maka tidak ada senjata atau peluru yang dapat mengenai tubuh Suta Ono.

Belasan tahun kisah tentang Suta Ono masih menjadi misteri bagi penulis. Yang penulis ingat hanya potongan cerita tentang kesaktian dan jubahnya saja, hingga suatu ketika penulis "nyasar" ke sebuah blog yang salah satu artikelnya bercerita tentang Suta Ono.

Dikisahkan bahwa Suta Ono hidup dalam legenda yang tidak jelas, campur aduk. Ada yang menyebut dia seorang raja, orang sakti mandraguna dan pahlawan. Faktanya adalah abun kremasinya tersimpan dalam peti yang terpahat ukiran medali penghargaan pemerintah Hindia Belanda seperti medali Singa Belanda (Leeuw Nederlandse) dan Bintang kesatria (Ridder Nederlandse), bintang militer Williem Orde kelas 3, di Telang Uhang (Telang Lama) Kecamatan Paju Epat, Kabupaten Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah.

Siapa sebenarnya Suto Ono dan apa yang telah dilakukannya sehingga menerima berbagai penghargaan dari pemerintah Hindia Belanda?

Berikut adalah kisah perjuangan Suto Ono, seorang pahlawan bagi daerah Paju Epat, namun sejarah nasional dan wikipedia menganggapnya sebagai antek Belanda.


Suta Ono, Pahlawan atau Antek Belanda?


Suta Ono, Pahlawan atau Antek Belanda?
Sketsa Suta Ono diambil dari buku "Gedenkbuch der Rheinischen Missions-Gesellschaft." Rhenish Mission in 1878.

Suta Ono lahir di Telang sekitar Tahun 1822, dengan nama kecil Aboe. Ayahnya bernama Suma, seorang tokoh dari Dadahup (Kapuas) dan ibunya bernama Kalimah berasal dari Paju Epat. Kakeknya (ayah dari Kalimah) adalah seorang kepala adat Maanyan yang berpengaruh di Paju Epat, bernama Sutawana atau Geger. Kelak, dari sang kakek lah Suta Ono memperoleh tongkat estafet jabatan kepala adat Maanyan Paju Epat.

Sebelum masuknya Belanda, Orang Maanyan berada di bawah kekuasaan kesultanan Banjar. Di bawah kekuasaan kesultanan Banjar mereka tidak diperbolehkan menjual hasil-hasil hutan langsung kepada pedagang-pedagang asing (Cina, Portugis, Inggris dan Belanda), hasil hutan haruslah dijual kepada pemerintah kesultanan dengan harga murah lalu kemudian diangkut menuju Banjarmasin dan dijual dengan harga mahal kepada orang asing yang singgah di pelabuhan Banjarmasin.

Situasi yang sama juga dialami orang-orang Dayak Ngaju (Biaju) di Kapuas Murung, mereka dilarang melakukan transaksi dengan orang asing dan orang asing kala itu juga dilarang memasuki wilayah orang-orang Ngaju. Sultan bahkan marah dan berniat membunuh seorang pastor bernama Antonino Ventimiglia yang berani memasuki wilayah perairan Suku Dayak Ngaju menggunakan kapal Portugis karena khawatir orang-orang Portugis akan bertransaksi langsung kepada orang Dayak Ngaju di pedalaman, tentu hal ini akan merugikan perekonomian Banjarmasin.

Letnan C. Bangert pada tahun 1857, pernah mencatat kesedihan orang-orang suku Dayak Maanyan dari daerah Patai, yang diwajibkan membayar pajak sebesar 200 duiten perkepala pertahun kepada Sultan Banjar dan kewajiban menyediakan seribu batang pohon Ulin untuk keperluan pembuatan taman rusa milik sultan.

Ketika Suta Ono menjabat sebagai kepala adat suku Dayak Maanyan, Belanda mulai masuk ke Kalimantan, sehingga Suta Ono pun masuk dalam bagian struktur pemerintahan Hindia Belanda, dimana wilayah Maanyan Paju Epat dimasukan sebagai wilayah distrik dari tanah Gubernemen, yang disebut dengan Landschaap Sihong.

Suta Ono merasa pihak Belanda jauh lebih baik sebagai tempat berlindung, secara ekonomi, dan Pendidikan lewat Zending untuk memperbaiki generasi suku Dayak Maanyan. Yang sangat berbeda ketimbang berlindung dengan Raja-raja dan aristokrat lokal yaitu Kesultanan Banjar, yang cenderung mengekplotasi keterbelakangan pengetahuan orang Dayak Maanyan bahkan ditekan dengan kekuatan militer.

Kedatangan Zending (dari badan missi RMG Jerman) pertama yaitu Denniger pada tahun 1851 dengan pangkalan atau stasi pertama yaitu kampung Murutuwo yang membuka sekolah bagi para penduduk pribumi disambut baik oleh Suta Ono. Sadar akan keterbelakangan pengetahuan warganya di masa itu, Ia mengajak dan mendorong para pemuda agar bersekolah, bahkan Suta Ono menjadikan dirinya sebagai contoh bagi yang lain dengan ikut bersekolah.

Suta Ono menganggap kehadiran orang-orang Eropa ini bermanfaat bagi kesejahteraan dan kemajuan suku Dayak Maanyan. Ia sangat menghormati dan mengasihi sahabat-sahabat Eropanya, sehingga ketika meletusnya pemberontakan Hidayatullah terhadap pemerintahan Hindia Belanda yang melahirkan sentimen anti orang kulit putih saat itu membuat Suta Ono ikut terlibat dalam konflik antara pemerintah Hindia Belanda dengan Kesultanan Banjar.

Pada tanggal 13 Mei 1861 Suta ono membawa 229 prajurit dari Siong dan 176 prajurit dari Patai bersama 142 serdadu Belanda dibawah pimpinan Mayor C.A Schuack melakukan mars dari Tamiang Layang untuk meredam pemberontakan Antasari di Gunung Tongka.

Selanjutnya Suta Ono dan pasukannya juga terlibat membantu menumpas pemberontakan-pemberontakan di berbagai wilayah, salah satunya yang terkenal dan tercatat dalam sejarah perang Banjar/Perang Wangkang, adalah pemberontakan Demang Wangkang yang berhasil ditumpas oleh Suta Ono di Taluk Masigit Marabahan.

Atas jasanya membantu menumpas pemberontakan di berbagai wilayah, pada tahun 1870 Suta Ono menerima penghargaan medali Singa Belanda (leeuw nederlandse) dan Bintang kesatria (Ridder Nederlandse), bintang militer Williem Orde kelas 3.

Hingga akhir hayatnya Suta Ono tetap sering mengunjungi sahabat-sahabatnya orang-orang Eropa di Banjarmasin, namun ia menolak untuk tinggal di Banjarmasin. ia tetap senang hidup bersama rakyat-rakyatnya di Siong dan Telang. (C De Goeje, Een Bezoek Aan Sota Ono In De Dajak Lenden, De Beir 1878).


Jadi Siapakah Suta Ono? Apakah ia pahlawan atau antek Belanda?

Tanpa bermaksud mengingkari eksistensi NKRI yang pada saat itu memang belum ada dan tanpa bermaksud mengabaikan sejarah nasional yang dengan jelas menjadikan Belanda sebagai tokoh antagonis, sesungguhnya yang terjadi adalah sebuah perjuangan melawan tirani. Semangat perjuangan dan alasan beliau berjuang sama persis dengan alasan dan semangat perjuangan bangsa ini. Suta Ono adalah pahlawan bagi bangsanya yang kala itu juga sedang dijajah atau menjadi vazal bangsa lain.


Sumber : http://hadi-saputra-miter.blogspot.co.id/2012/04/sota-ono-pahlawan-ataukah-kaki-tangan.html
loading...
loading...
Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar Yang Anda Sukai

No comments