2016/05/18

Kisah Pangantuhu Keramat Penjaga Desa Mangkatip

Mangkatip adalah sebuah desa (kelurahan) yang berada di tepi sungai Barito, termasuk dalam wilayah kecamatan Dusun Hilir, Kabupaten Barito Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah. Di desa ini terdapat sebuah benda keramat dan  bersejarah peninggalan leluhur orang Mangkatip yang dipercaya memiliki kekuatan gaib sebagai pelindung desa dari bahaya, kepercayaan ini telah berlangsung sejak jaman kolonial Belanda hingga sekarang.

Kisah Pangantuhu Keramat Penjaga Desa Mangkatip

"Pancantoho Patjaka Dayak Badjajo" (dibaca: Pangantuhu Pusaka Dayak Bajaju) demikian nama benda keramat tersebut, yang dipercaya merupakan sisa "sampung jukung" atau kepingan/serpihan perahu Raja Banjar pertama yang masih beragama Kaharingan. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, pusaka ini didiami oleh roh gaib yang bisa diminta bantuannya untuk menjaga desa Mangkatip dari segala macam bahaya. Sebagaimana kisah turun-termurun sejak jaman dahulu, benda keramat berupa sumpung jukung raja Banjar ini awalnya ditemukan oleh warga yang menjala ikan.

Dikisahkan, pada jaman dahulu ada seorang nelayan dari Mangkatip yang pergi menjala ikan di sekitar Tanjung Paku (sebelah hulu Janamas) menggunakan jukung (sampan), ketika sedang asik menjala ikan tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara tangisan anak kecil. Maka ia pun menghentikan aktifitasnya lalu berusaha mencari sumber suara tangisan tadi, namun tidak menemukan apa-apa. Maka ia pun bergegas pulang ke Mangkatip dan menceritakan kejadian tersebut kepada warga.

Pada keesokan harinya, ditemani empat orang saudaranya mereka kembali ke lokasi dimana suara tangis misterius itu terdengar. Setibanya di lokasi yang dimaksud suara tangis pun kembali terdengar oleh keempat orang itu. Lalu mereka berusaha mencari dari mana asal suara tangisan tadi dan ternyata suara tangis itu bersumber dari potongan haluan sebuah perahu yang nampaknya telah terbakar. Kemudian mereka sepakat membawa benda temuan mereka itu pulang ke desa. Begitu tiba di desa lalu benda tersebut diletakan di bawah pohon kapuk jangkung (hingga kini pohon kapuk tersebut masih ada di tengah desa), lalu mereka pulang ke rumah masing-masing.

Malam harinya, salah seorang dari empat bersaudara itu bermimpi, dalam mimpinya ia didatangai oleh roh gaib yang mendiami potongan haluan perahu yang mereka temukan di Tanjung Paku. Roh gaib itu berkata, "Aku adalah penunggu potongan haluan perahu milik orang Karuis, aku berniat untuk tinggal di desa ini dan membantu menjaga desa dari segala bahaya karena aku mengasihi kalian yang telah sudi memungut dan membawaku ke desa ini". Roh gaib itu juga minta dibuatkan sebuah rumah untuk meletakan potongan haluan perahu yang juga sebagai tempat tinggal roh gaib itu. Dan jika suatu saat ingin memindahkannya maka tidak boleh dipindahkan ke arah hilir sungai, melainkan ke arah hulu.

Keesokan harinya, orang yang bermimpi tadi menceritakan pesan-pesan orang gaib itu kepada seluruh warga desa Mangkatip. Maka dibuatlah rumah bagi sumpung jukung atau potongan haluan perahu yang kemudian dikenal dengan sebutan Pancantoho Patjaka Dayak Badjajo atau Pangantuhu.

Semula yang bertugas menjaga keramat Pangantuhu adalah empat bersaudara yang menemukannya di Tanjung Paku, namun ketika perang melawan penjajah Belanda yang dikenal sebagai "Perang Kasintu Kuluk Barito" meletus mereka berempat ikut pergi berperang dan hingga kini tidak ada yang mengetahui kabar beritanya.

Selanjutnya dipilihlah seorang yang bertugas menjaga Pangantuhu bernama Pantau yang terkenal dengan sebutan Bue Janggut (kakek berjenggot). Setelah Bue Janggut meninggal, Pangantuhu dipindahkan ke bagian hulu desa Mangkatip dengan menggelar ritual adat. Kemudian terpilihlah seorang wanita bernama Indu Burui (indu = ibu, Burui = nama anak, masyarakat suku Dayak umumnya menganut Teknonimi yaitu pemberian nama kepada ayah atau ibu berdasarkan nama anaknya) sebagai penjaga atau juru kunci Pangantuhu.

Ketika rumah tempat meletakan Pangantuhu mulai rusak, maka pada tanggal 20 Januari 1987 Pangantuhu dipindahkan kembali ke bagian hulu desa Mangkatip (sekarang lokasinya berada di dekat kantor Kelurahan Mangkatip). Dan hingga sekarang yang menjadi juru kuncinya adalah seorang yang bernama Duyan Lihun yang akrab dipanggil Pa An atau Bapa An (lihat tentang Teknonimi di atas).

Ketika Bapa An yang menjadi juru kunci inilah ada suatu kejadian yang membuat semua warga heran. Konon diceritakan ada seorang wanita bernama Lamsiah dari Banua datang ke Mangkatip untuk menemui juru kunci Pangantuhu. Kepada Bapa An sang juru kunci wanita itu menceritakan bahwa dirinya adalah keturunan dari nelayan yang menemukan sampung jukung asal mula Pangantuhu tersebut. Ia datang karena ingin memceritakan isi mimpinnya yaitu dari perut sampung jukung keluar sejenis getah yang harus ditampung menggunakan Piring Malawen (piring keramik cina kuno). Jika ditampung menggunakan piring Malawen maka getah itu nantinya akan berubah menjadi batu.

Pancantoho Patjaka Dayak Badjajo atau Pangantuhu ini juga memiliki gelar atau nama panggilan lain yaitu Datu Kayu Melai Huma Bahenda. Hingga kini banyak orang yang berdatangan ke desa Mangkatip mengunjungi Pangantuhu dan bagi yang percaya maka kedatangannya juga diiringi harapan (hajat) tertentu atau bisa juga datang untuk meminta kesembuhan atas penyakit yang tidak bisa diobati lagi secara medis.


Sumber :
  • http://barselpromo.blogspot.co.id/2010/07/kisah-pancantoho-lewu-mangkatip-basa.html


loading...
loading...
Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar Yang Anda Sukai

No comments