2016/05/05

Takluknya Raja Madura oleh Mambang dari Manen Paduran

Kisah ini bermula di sebuah kampung di tepi sungai Kahayan yang bernama Manen Paduran. Alkisah pada jaman dahulu ada seorang pemuda bernama Mambang yang merupakan putera sulung Tamanggung Baya yang terkenal gagah dan berani sebagai pemimpin di kampung Manen Paduran. Tamanggung Baya meninggal dunia ketika Mambang mulai beranjak dewasa.

Sepeninggal ayahnya, Mambang menyadari bahwa kepemimpinan di Manen Paduran merupakan tanggung jawabnya sebagai anak sulung Tamanggung Baya yang terkenal dan disegani sebagai pemimpin. Mambang berkeinginan agar tongkat estafet kepemimpinan dan kebangsawanan ayahnya tidak jatuh ke tangan orang lain. Oleh karena itu Mambang bertekad mempopulerkan dirinya di hadapan masyarakat kampung Manen Paduran dengan memperlihatkan kekuatan, keberanian serta ide cemerlangnya agar diakui sebagai pengganti ayahnya.

Denga restu ibunya Mambang berangkat ke hulu sungai Kahayan mengumpulkan kayu ulin untuk mendirikan sebuah Betang yang besar dan megah sebagai mahakarya yang akan dipamerkannya kepada masyarakat Manen Paduran kelak. Setelah beberapa bulan lamanya berada di daerah hulu sungai Kahayan, Mambang akhirnya berhasil mengumpulkan ribuan potong kayu ulin yang siap untuk dimilirkan dengan rakit menuju kampung Manen Paduran.

Setibanya di Manen Paduran, Mambang memimpin penduduk desanya bergotong royong membangun betang impiannya. Sementara itu para jipen (budak) dan pelayannya ditugaskan untuk membuka ladang yang luas dan menanaminya dengan padi serta tanaman pangan lainnya. Ketika betang selesai dibangun musim panen pun tiba, masyarakat Manen Paduran merasa senang dengan berdirinya betang baru yang megah berbarengan dengan panen raya yang melimpah.

Sukses membangun betang dan menjamin ketersediaan pangan bagi warganya, Mambang merasa masih ada satu tanggung jawab besar yang belum ia tunaikan, untuk itu ia segera mempersiapkan upacara Tiwah bagi mendiang ayahnya Tamanggung Baya. Upacara Tiwah kemudian dilaksanakan dengan memotong puluhan ekor sapi, kerbau dan babi.

Usaha Mambang untuk membuktikan bahwa dirinya layak sebagai pengganti ayahnya berhasil. Namun ia tidak langsung berpuas diri, usaha pertanian dan peternakan semakin digiatkan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Mambang juga membangun fasilitas penempa besi untuk membuat berbagai senjata dan alat pertanian. Namun ia lebih fokus membuat duhung pusaka bertatah intan pesanan para tamanggung dari kampung sekitarnya. Hal ini dilakukan untuk mempopulerkan dirinya di kalangan bangsawan di sepanjang sungai Kahayan. Demikianlah pada akhirnya Mambang lebih sering bekerja di penempaan besinya.

Pada suatu hari Mambang menyadari ada yang aneh pada api bubutan di penempaan besi miliknya. Api bubutan selalu padam dan arangnya berhamburan kemana-mana. Hal ini membuatnya gusar dan bertanya-tanya apa penyebabnya. Maka Mambang pun berencana untuk bersembunyi di penempaan besinya di malam hari untuk mengintai apa yang terjadi pada api bubutan yang selalu padam.

Malam pun tiba, Mambang telah berada di posisinya untuk mengintai apa yang terjadi. Tidak berapa lama kemudian, Mambang melihat seorang gadis cantik keluar dari dalam sungai lalu memadamkan api bubutan itu. Seketika itu juga Mambang meloncat keluar dari persembunyiannya lalu menangkap gadis itu. Gadis itu berteriak meminta ampun dan minta dilepaskan.

Mambang lalu berkata kepada gadis itu, "Aku tidak akan melepaskanmu. Kamu telah menggangu perapian bubutan miliku, kamu harus menebus kesalahanmu dengan menjadi isteriku!"

Gadis itu lalu menyahut, "Bagaimana mungkin kita berdua dapat hidup bersama? Aku ini Bawin Jatta (anak gadis Jatta penguasa alam bawah) yang tinggal di alam bawah, bukan manusia seperti engkau."

Mambang tetap bersikeras, "Aku tidak peduli kamu Bawin Jatta, siluman atau apapun, karena kamu sudah menjelma dalam wujud manusia seperti ini maka aku tetap akan mengawinimu. Ayo ikut pulang ke rumahku!" Gadis itu pun akhirnya menuruti keinginan Mambang, lalu mereka bersama-sama pulang ke rumah Mambang.

Akhirnya Mambang mengawini gadis Jatta itu secara resmi menurut tata cara adat suku Dayak Ngaju. Dengan menikahnya Mambang, maka lengkaplah sudah persyaratan yang harus dipenuhi Mambang untuk menjadi seorang Tamanggung, suatu gelar kebangsawanan bagi pemimpin kampung. Mambang pun menjalankan pemerintahan dengan adil dan bijaksana.

Hingga pada suatu hari, warga kampung Manen Paduran diserang oleh wabah penyakit menular yang mematikan, korban meninggal dunia pun berjatuhan. Lalu tersebarlah kabar burung bahwa wabah yang menimpa warga Manen Paduran disebabkan oleh kehadiran isteri Mambang yang adalah mahkluk alam bawah.

Desas-desus kabar burung itu akhirnya sampai ke telinga isteri Mambang, ia menjadi sangat tersinggung dan sedih mendengar tundingan itu. Menyikapi situasi itu maka Mambang berinisiatif pindah ke lokasi yang cukup jauh di belakang kampung Manen Paduran di tepi sebuah danau. Lokasi ini di kemudian hari dikenal sebagai "Kaleka Labehu Bunter".

Sambil berladang Mambang membuat sebuah "Banama" (bahtera) yang terbuat dari kayu sungkai pilihan. Lima tahun lamanya Banama berikut "Tatas" (jalur keluar Banama berupa parit lebar dan dalam) menuju ke sungai Kahayan dikerjakan Mambang seorang diri.

Kini Banama itu telah siap, selanjutnya Mambang mengangkut barang-barang untuk keperluan mereka di perjalanan. Setelah semua barang masuk ke dalam Banama, lalu anggota keluarga Mambang pun menyusul masuk ke dalam Banama, dan Banama siap untuk berangkat. Sebelum melepas tali tambat Banama, Mambang kembali ke pondok untuk memeriksa kembali jika ada barang yang tertinggal. Tidak lama kemudian ia keluar dari pondok sambil membawa ayam jantan kesayangannya, melepas tali tambat lalu melompat ke atas Banama dan memulai perjalanan mereka.

Banama pun perlahan bergerak keluar menyusuri tatas yang dibuatnya menuju sungai Kahayan. Setibanya di sungai Kahayan, Mambang membelokkan Banamanya ke arah hilir dan mulai mengarungi sungai Kahayan menuju ke muara dan keluar ke laut.

Setelah terkatung-katung di laut selama hampir satu bulan, akhirnya menjelang fajar terlihatlah daratan yang nampaknya berpenghuni. Ayam jantan Mambang lalu berkokok dengan lantang ketika Banama itu menyentuh bibir pantai pulau yang belakangan baru mereka ketahui bernama Pulau Madura.

Takluknya Raja Madura oleh Mambang dari Manen Paduran

Tidak lama berselang, datanglah beberapa orang bersenjata tombak dan clurit yang memperkenalkan diri sebagai pengawal raja yang berkuasa di pulau itu. Mereka menyampaikan bahwa kedatangan Mambang dengan Banamanya telah diketahui raja mereka. Kokok ayam jantan Mambang tadi dianggap sebagai tantangan oleh raja yang gemar menyabung ayam itu, ia penasaran dan ingin mengadu ayam jantan miliknya dengan ayam milik Mambang. Dan jika menolak maka dianggap menentang perintah raja.

Lalu dengan hati-hati Mambang menyampaikan bahwa kedatangannya bukan untuk menyabung ayam atau menantang siapapun, ia hanya ingin memulai kehidupannya yang baru dan mencoba peruntungannya di pulau itu.

Mambang lalu memegang ayamnya sambil berkata, "Jika karena ayamku ini, kedatangan kami di pulau ini dianggap menantang raja, maka lebih baik ayam ini aku potong dan dimakan saja."

Salah seorang pengawal raja mendekat dan memegang tangan Mambang sambil berkata, "Jangan kau potong ayammu orang asing! Siapa tahu nasibmu beruntung bisa mengalahkan ayam milik raja sekaligus mengalahkan sang raja di pertarungan nanti."

"Lagipula kamu tidak memiliki pilihan lain selain memenuhi permintaan sang raja. Ketahuilah orang asing, jika ayammu menang maka raja akan menantangmu bertarung sampai mati, jika ayammu kalah maka ayammu akan dibunuh lalu harta bendamu dirampas, jika kamu menolak mengadu ayammu maka kamu dan keluargamu akan dijadikan budak, harta bendamu dirampas. Bersiaplah, besok pagi kami akan menjemputmu," lanjut pengawal tadi sambil berlalu meninggalkan Mambang yang berdiri kebingungan.

Mambang kembali ke atas Banama lalu menceritakan apa yang terjadi kepada isterinya. Mambang merasa sedih dan bersalah telah membawa keluarganya dalam masalah ini. Namun dengan tenang isterinya berkata, "Jangan khawatir kanda, bukankah kanda ini seorang menantu Jatta, dewa penguasa alam bawah. Pasti ayahanda akan membantu kita menghadapi masalah ini. Terima saja tantangan raja di pulau ini, aku akan berbicara dengan ayahanda meminta petunjuk."

Keesokan hari Mambang telah bersiap menanti kedatangan para pengawal raja yang akan menjemputnya. Ketika para pengawal itu datang, isterinya menghampiri Mambang sambil menyerahkan sebilah "Duhung" dengang gagang gading lengkap dengan sarung yang terbuat dari perak.

"Ayahanda Jatta menitipkan Duhung ini untuk kanda. Yakinlah kanda!" bisik isterinya kepada Mambang.

"Baiklah, aku berangkat isteriku," ucap Mambang dengan bersemangat, lalu menyelipkan duhung itu di perut, kemudian berjalan sambil memeluk ayam jantannya mengikuti para pengawal yang menjemputnya.

Akhirnya mereka tiba di lingkungan istana raja, tampak oleh Mambang arena sabung ayam telah disiapkan di tengah halaman yang luas. Orang-orang pun ramai berkumpul ingin menyaksikan acara tersebut.

Singkat cerita sabung ayam pun dimulai. Ayam sang raja terlihat agresif memulai serangan, namun dengan cerdik ayam milik Mambang menyongsong serangan itu dengan menyabetkan tajinya ke arah mata ayam milik raja. Serangan pada mata tadi mengakibatkan ayam sang raja tidak dapat melihat, maka dengan bertubi-tubi ayam milik Mambang melakukan serangan, menancapkan tajinya berkali-kali di leher ayam raja. Ayam milik raja kemudian terkulai lemas dan mati di tengah arena.

Seketika raja berdiri dengan wajah memerah menahah marah lalu berjalan mendekati Mambang sambil menatapnya dengan tajam.

"Baiklah orang asing ayammu telah memenangkan aduan, sekarang giliran kita untuk bertarung sampai mati di dalam lubang itu!" ujar raja sambil menunjuk pada sebuah sumur tua yang telah kering di halaman istana itu. Lalu ia mengajak Mambang mendekati sumur tua yang berdiameter lebih kurang satu meter setinggi bahu orang dewasa.

Sesaat sebelum melompat ke dalam lubang sumur kering itu raja kembali berucap, "Kalian semua yang hadir di sini dengarkan! Jika aku yang keluar dari sumur ini dalam keadaan hidup maka harta benda orang asing ini akan menjadi milikku dan keluarganya akan menjadi budak ku. Dan, jika orang asing ini yang keluar dalam keadaan hidup maka dia berhak atas kerajaanku, harta benda dan budak-budak ku."

Lalu raja dan Mambang masuk ke dalam sumur itu, berdiri saling berhadap-hadapan. Raja kembali berkata, "Katakan jika kau sudah siap orang asing." Mambang yang sejak tadi hanya diam saja menjawab, "Aku siap raja."

Seketika itu juga raja berusaha mencabut clurit yang terselip di pinggangnya namun mengalami kesulitan karena sikutnya membentur dinding sumur yang sempit. Berulang kali mencoba namun selalu gagal menarik senjatanya itu. Lalu dengan tenang Mambang mencabut duhung yang terselip di perutnya dan mengangkatnya perlahan. Ketika ujung duhung yang tajam tepat berada di depan perut raja, Mambang kemudian menghujamkan duhung itu sambil merapatkan dirinya ke tubuh sang raja. Raja itu kemudian terkulai lemas dan tewas seketika.

Tiba-tiba orang banyak yang menonton pertarungan itu bersorak sorai kegirangan mengerumuni lubang sumur itu. Seorang pengawal mengulurkan tangannya kepada Mambang membantunya naik ke atas. Mambang mengenali pengawal itu sebagai orang yang menahan tangannya ketika ingin memotong ayamnya saat di pantai sehari yang lalu.

Setelah Mambang telah keluar dari sumur dan berdiri di hadapan orang banyak, pengawal yang membantunya naik tadi menjatuhkan diri dan berlutut memberi hormat diikuti semua orang yang hadir, kemudian pengawal itu berkata, "Dewata telah mengabulkan doa kami melalui perantaraan orang asing dari tanah seberang. Terima kasih telah membebaskan kami dari penindasan raja yang kejam."

Akhirnya Mambang diangkat menjadi raja di pulau yang baru diketahuinya bernama Pulau Madura. Aturan lama tentang sabung ayam yang dibuat sekehendak hati raja yang dulu dihapus, semua orang boleh memelihara ayam jantan dan bebas menyabung ayam tanpa paksaan. Semua budak milik raja yang dahulu dibebaskan. Mambang memerintah dengan adil dan bijaksana hingga akhir hayatnya.

***

Kini keturunan Mambang telah membaur dengan penduduk asli Pulau Madura. Namun ada ciri khusus yang menandakan bahwa mereka adalah keturunan Raja Mambang dari Manen Paduran, yaitu kaum laki-lakinya bertindik di salah satu daun telinganya, dan kaum perempuannya memakai gelang di kaki.

Beberapa sumber mengatakan bahwa bekas terdamparnya Banama Mambang di Pulau Madura hingga kini masih dapat dilihat berupa sebuah batu besar berbentuk sepotong sabut kelapa yang berada di Pantai Nipah, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang, Madura. Namun penulis belum bisa memastikan kebenaranya karena keterbatasan sumber dan referensi.

Sedangkan lokasi pembuatan Banama yang digunakan Mambang berlayar menuju Pulau Madura dapat ditemukan di belakang desa Manen Paduran (sekarang termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Banama Tingang, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah), di tepi danau berupa bekas galian sepanjang 34 meter, lebar 10 meter dengan kedalaman 2 meter, di sekitarnya dapat dijumpai potongan dan serpihan kayu Sungkai yang telah mengeras seperti batu.


Sumber :
  • Lambertus Elbaar, Achyar Ahmad, Toenika J. Bahen. 1982. "Ceritera Rakyat Daerah Kalimantan Tengah". Departemen Pendidikan dan Kebudayaan - Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. (hal. 53 - 56)
  • http://ceritagwonk.blogspot.co.id/



loading...
loading...
Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar Yang Anda Sukai

No comments