2015/12/19

Legenda Bukit Batu, Situs Pertapaan Pahlawan Nasional Tjilik Riwut

Legenda Bukit Batu - Pertapaan Pahlawan Nasional Tjilik Riwut

Bukit Batu merupakan salah satu objek dan daya tarik wisata di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, terbilang unik karena banyak warga datang menggelar ritual di sana.

Kawasan wisata yang lebih dikenal dengan nama Pertapaan Pahlawan Nasional Tjilik Riwut ini, berada di dekat kota Kasongan, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Saat ini oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah tempat wisata tersebut telah ditetapkan sebagai objek wisata spiritual.

Apabila dilihat dari kejauhan tampak sekali bukit batu yang menjulang tinggi sehingga terlihat seperti gunung batu. Halamannya pun luas dengan dilapisi rumput hijau yang segar sehingga terlihat sejuk.

Legenda Bukit Batu

Bukit Batu adalah kumpulan batu-batu besar yang berderet membentuk gugusan bukit yang terletak di Kabupaten Katingan,  Kalimantan Tengah. Hingga saat ini keberadaan Bukit Batu masih misteri. Kumpulan batu-batu besar ini berada di tengah hutan belantara yang jauh dari gunung dan sungai sehingga tidak mungkin berasal dari letusan gunung berapi atau banjir besar. Selain itu tidak pernah ada bukti sejarah yang mengatakan bahwa lokasi itu bekas peninggalan suatu kerajaan, namun tumpukan bebatuan besar itu terlihat tersusun rapi seakan sengaja dibangun. Karena tidak ada penjelasan konkret tentang asal mula Bukit Batu, masyarakat setempat berbagi cerita tentang legenda asal usulnya.

Legenda tentang Bukit Batu ini diawali dengan kisah seorang penduduk desa Tumbang Liting yang "sakti" bernama Burut Ules yang pergi menuju ke suatu tempat untuk membuka lahan perladangan. Seorang diri, ia bekerja keras, membabat hutan, membangun pondok untuk tempat beristirahat.

Suatu ketika, di suatu siang yang panas oleh teriknya sinar matahari namun disertai turunnya rintik-rintik hujan gerimis, Burut Ules sedang beristirahat melepas lelah, tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan tujuh bidadari cantik yang turun dari langit langsung menuju telaga yang berada tak jauh dari tempatnya beristirahat. Dengan rasa penasaran Burut Ules mendekati telaga, mengendap-endap untuk mencari tahu apa yang terjadi di telaga tersebut.

Rupanya para bidadari itu sedang mandi sambil bercanda tawa dengan ceria. Burut Ules terpana, matanya langsung tertuju pada salah seorang yang nampak paling muda di antara para bidadari itu, gerak geriknya membuat Burut Ules terpesona dan saat itu juga Burut Ules langsung jatuh cinta.

Setelah puas mandi dan berenang, mereka kembali berpakaian dan melompat ke angkasa menuju langit. Sejak saat itu Burut Ules menjadi resah dan gelisah, ia sangat menyesal mengapa pada saat itu tidak langsung memeluk si pencuri hatinya yang sedang mengenakan pakaiannya seusai mandi, padahal jarak antara mereka tidak jauh.

Suatu hari, ketika matahari sedang bersinar terik dan hujan turun rintik-rintik, menyadari cuaca "ganjil" tersebut merupakan pertanda turunnya para bidadari untuk mandi, maka bergegaslah Burut Ules ke semak-semak menunggu dan mengamati telaga tempat idaman hatinya mandi. Usaha dan penantiannya tidak sia-sia, tidak lama kemudian di langit terlihat rombongan bidadari yang terbang menukik menuju telaga.

Ketujuh bidadari itu dengan ceria terjun ke telaga, mandi sambil berenang, penuh tawa ria. Namun ketika mereka naik untuk berpakaian, saat itulah Burut Ules mendadak muncul di antara mereka dan serta-merta memeluk bidadari yang paling muda, pujaan hatinya. Kepanikan pun terjadi, para bidadari yang lain dengan tergesa-gesa memakai pakaiannya masing-masing kemudian langsung terbang menuju langit dengan meninggalkan si adik bungsu yang ketakutan dalam pelukan erat Burut Ules.

Burut Ules akhirnya menikah dengan bidadari pujaan hatinya. Singkat cerita, isteri Burut Ules hamil dan lahirlah seorang anak laki-laki (yang namanya tidak bisa disebutkan pada tulisan ini karena memerlukan izin khusus dan ritual tertentu). Burut Ules hidup bahagia bersama anak dan isterinya.

Beberapa waktu kemudian, datanglah seorang pemuda mengunjungi kediaman Burut Ules. Isteri Burut Ules mengenalkan kepada suaminya bahwa pemuda tersebut adalah salah seorang saudaranya yang datang untuk mengunjungi mereka. Burut Ules menerima kehadiran pemuda tersebut dengan baik, bahkan pemuda itu diizinkan turut menginap di rumahnya.

Namun, lama kelamaan Burut Ules merasa curiga karena setiap mandi di telaga, mereka selalu pergi berdua. Anak mereka yang masih bayi ditinggal begitu saja di gubuk. Rasa cemburu mulai muncul, namun apabila Burut Ules menanyakan hal tersebut, isterinya selalu memberikan jawaban yang sama, bahwa pemuda tersebut memang benar saudaranya.

Akhirnya Burut Ules sudah tidak tahan lagi melihat kelakuan istrinya yang sering mandi bersama lelaki yang diakuinya sebagai saudara, dan Burut Ules pun membunuh laki-laki tersebut. Burut Ules menikam pemuda hitam tinggi besar tersebut dengan tombak hingga tewas namun seketika jasadnya lenyap secara gaib.

Ketika Burut Ules pulang ke rumah, dijumpainya isterinya berdiri di hejan (tangga rumah) sambil menggendong anak lelaki mereka satu-satunya. Ketika melihat Burut Ules datang, dengan nada penuh duka isterinya mengatakan bahwa ia sangat sedih dan kecewa karena suaminya tidak lagi mempercayainya bahkan tega membunuh saudaranya. Oleh karena itu ia bertekad untuk pulang ketempat asalnya dengan membawa serta putra mereka.

Sebelum pergi, masih sempat isterinya berpesan bahwa kelak di kemudian hari apabila keturunan Burut Ules membutuhkan bantuannya, maka anak semata wayang mereka akan selalu siap membantu. Dikatakan pula bahwa kelak apabila anak mereka telah dewasa, ia tidak dapat hidup dan berdiam di alam dimana ibunya berada karena ayah dan ibunya berasal dari alam yang berbeda. Oleh karena itu apabila anak mereka telah dewasa, ia akan kembali ke alam ayahnya. Setelah berkata demikian anak dan ibu lenyap dari pandangan mata Burut Ules meninggalkan penyesalan dan kesedihan yang mendalam di hati Burut Ules.

Sesal kemudian tak berguna. Burut Ules mencoba bangkit dari kesedihannya. Menyibukan diri melupakan kesedihannya dengan bekerja mengurus ladang, menangkap ikan, dan aktifitas lain. Waktu berlalu, sedikit demi sedikit Burut Ules mampu bangkit kembali dari kesedihan akibat ditinggal pergi oleh isteri dan anaknya. Kemudian kawinlah ia dengan anak Kutat. Dari perkawinan ini lahirlah dua orang anak, seorang laki-laki dan seorang perempuan.

Suatu hari di Teluk Derep, Tumbang Kasongan, terdengar suara gemuruh halilintar memekakkan telinga. Petir kilat sambar menyambar. Saat itu sebuah batu besar diturunkan dari langit, diyakini bahwa anak Burut Ules yang telah gaib bersama isteri pertamanya, saat itu telah dewasa. Sesuai janji, apabila telah dewasa ia akan kembali ke alam tempat bapaknya bertempat tinggal, maka janji itu telah ditepati. Batu yang diturunkan dari langit yang kemudian terkenal dengan nama Bukit Batu diyakini sebagai tempat kediamannya, walau tak terlihat dengan mata jasmani, namun ia ada di sana sebagai Raja dan penguasa daerah tersebut. Oleh masyarakat setempat, hingga kini Burut Ules diyakini tidak meninggal melainkan berpindah ke alam gaib.

Tjilik Riwut dan Bukit Batu

Berbicara tentang Bukit Batu maka yang pertama muncul di benak warga Kalimantan Tengah (Kalteng) adalah Tjilik Riwut. Bagi masyarakat Kalteng sosok Tjilik Riwut sangat identik dengan Bukit Batu. Beliau adalah Pahlawan Nasional asal Kalimantan tengah, Gubernur Kalimantan Tengah yang pertama, yang namanya diabadikan sebagai nama Bandar Udara di Palangka Raya dan sebagai nama jalan terpanjang di Kalteng yang menghubungkan kota Palangka Raya - Sampit sepanjang lebih kurang 229 Km (bahkan mungkin terpanjang di Indonesia).

Terlepas dari segudang prestasi dan jasa Beliau dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan republik ini, yang melekat di benak Masyarakat Kalteng pada umumnya adalah kesaktiannya. Beliau dikabarkan bisa menghilang tanpa jejak ketika dikejar pasukan Belanda, bisa berjalan puluhan kilometer hanya dalam hitungan menit, dan seorang tabib yang bisa menyembuhkan segala penyakit. Pokoknya "multi talented", sakti mandraguna. Konon kabarnya ilmu itu didapatnya karena rajin bertapa di Bukit Batu, sebagaimana diceritakan berikut ini.

Tjilik Riwut

Alkisah Riwut Dahiang yang bertempat tinggal di daerah Sungai Sala, sangat mendambakan anak laki-laki. Keinginan tersebut demikian kuat dan mendalam. Walau berkali-kali Piai Riwut isterinya telah melahirkan anak, namun apabila anak laki-laki yang lahir, selalu saja meninggal dunia dalam usia balita. Keinginan yang sedemikian kuat membawa Riwut Dahiang bermohon dengan khusuk kepada Hatalla. Maka pergilah ia menuju ke suatu tempat keramat yaitu Bukit Batu.

Di tempat itu Riwut Dahiang balampah (bertapa) dan bermohon untuk diberikan seorang putera laki-laki. Wangsit yang diperoleh menyatakan bahwa kelak di kemudian hari putra lelaki yang sangat didambakan itu akan mengemban tugas khusus bagi masyarakat sukunya.

Tanggal 2 Pebruari 1918, anak laki-laki yang sangat diharapkan lahir dengan selamat di sebuah kebun durian Kampung Katunen Kasongan Kalimantan Tengah. Sejak kecil oleh ayahnya, Tjilik Riwut sering diajak ke Bukit Batu sehingga bagi Tjilik Riwut kecil tempat itu sudah tidak asing lagi baginya. Setelah melampaui usia balita, ketika sedang bermain-main dengan teman seusia, terkadang Tjilik Riwut begitu saja pergi meninggalkan teman-temannya menuju Bukit Batu. Entah apa yang ia lakukan disana, tak seorang pun tahu.

Ketika menginjak usia remaja, Tjilik Riwut mulai mengikuti tradisi orang tuanya, pergilah Tjilik Riwut seorang diri menuju Bukit Batu. Di Bukit Batu ia balampah. Wangsit pertama yang ia peroleh mengarahkannya untuk menyeberang laut menuju pulau Jawa. Ketika itu komunikasi dan transportasi dari pedalaman Kalimantan ke Jawa amatlah sulitnya. Dapat dikatakan hanya impian. Jangankan ke pulau Jawa, menuju Banjarmasin yang juga berada di pulau yang sama yaitu Kalimantan membutuhkan perjuangan.

Tjilik Riwut tak kenal putus asa, halangan dan kesulitan yang menghadang ia anggap sebagai tantangan. Segala macam cara telah ia lakukan baik berjalan kaki menerobos rimba, naik perahu dan rakit, asalkan bisa mencapai pulau Jawa. Akhirnya sampai juga ia ke Banjarmasin. Singkat cerita, ketika sampai di Banjarmasin, Tjilik Riwut berusaha mendapatkan pekerjaan yang ada peluang untuk menghantarkannya ke Pulau Jawa.

Pada tahun 1942 di Banjarmasin, tengah malam ketika semua orang sedang tidur, Tjilik Riwut bangun dari tidurnya dan langsung membangunkan kawan-kawannya yang sedang terlelap tidur. Dengan begitu yakin Tjilik Riwut mengatakan kepada kawan-kawannya bahwa ayahndanya Riwut Dahiang malam ini telah dipanggil Yang Kuasa.

Tentu saja semua kawan-kawannya terheran-heran, tak satupun yang percaya bahkan mengira bahwa Tjilik Riwut sedang mimpi. Namun dengan mantap dan penuh keyakinan sekali lagi ia mengatakan bahwa semua ini benar karena penguasa Bukit Batu baru saja datang menemuinya menyampaikan pesan tersebut dan mengatakan bahwa sejak saat itu Tjilik Riwut adalah teman terdekatnya.

Tjilik Riwut meminta teman-temannya untuk mencatat kejadian tersebut lengkap dengan tanggal dan jam terjadinya peristiwa. Djainudin, Essel Djelau dan seorang teman lagi langsung mencatat walau tidak begitu yakin bahwa apa yang dialami Tjilik Riwut tersebut benar terjadi. Untuk mengecek kebenaran firasat tersebut hanya mungkin apabila ada seorang warga yang berasal dari Kasongan datang ke Banjarmasin. Saat itu komunikasi tidak semudah saat ini. Belum ada telepon, belum ada layanan pos, pengiriman berita mungkin terjadi apabila ada kenalan yang datang dari kampung halaman.

Suatu hari ketika seorang kawan datang dari Kasongan ke Banjarmasin, Tjilik Riwut bergegas menanyakan keadaan orang tuanya. Memang benar pada saat firasat dirasakan, pada saat itulah ayah tercintanya pergi menghadap ke hadirat Illahi.

Di masa Revolusi ketika Tjilik Riwut telah berhasil mencapai pulau Jawa bahkan telah terlibat aktif dalam perjuangan melawan Belanda, dalam suatu kesempatan ia pulang kampung dan kembali balampah di Bukit Batu. Ia mohon petunjuk dalam perjuangannya melawan penjajah. Dalam kesempatan itupun Tjilik Riwut bernazar untuk tidak menikah sebelum Indonesia merdeka. Sesuatu ia peroleh begitu usai balampah yaitu sebuah batu berbentuk daun telinga. Wangsit yang ia peroleh mengatakan bahwa batu tersebut dapat digunakan untuk mendengarkan dan memonitor musuh apabila diletakkan pada daun telinganya. Namun setelah kemerdekaan diperoleh oleh bangsa Indonesia, batu telinga itu pun menghilang secara gaib.

Tjilik Riwut dan Angka  17

Tjilik Riwut dikenal sangat "fanatik" dengan angka 17, angka yang merupakan tanggal kemerdekaan RI itu dianggap "keramat" bagi beliau. Begitu menyatunya angka 17 pada diri Tjilik Riwut dapat dibuktikan dari beberapa peristiwa penting yang melibatkan angka 17 di bawah ini :

  1. Pelaksanaan Sumpah Setia 142 suku Dayak Pedalaman Kalimantan kepada Pemerintah RI yang diwakili Tjilik Riwut dilaksanakan pada tanggal 17 Desember 1946.
  2. Operasi Penerjunan Pasukan Payung pertama dalam sejarah Angkatan Bersenjata RI oleh pasukan M.N. 1001 di desa Sambi, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, yang dipimpin Mayor Tjilik Riwut, dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 1947. Peristiwa bersejarah tersebut kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Koprs Pasukan Khas "Baret Jingga" TNI-AU.
  3. Desa Pahandut, yang kemudian menjadi Kota Palangka Raya, Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, adalah desa yang ke-17 dihitung dari muara Sungai Kahayan.Peletakan 
  4. Provinsi Kalimantan Tengah adalah provinsi yang ke-17 di Indonesia
  5. Provinsi Kalimantan Tengah lahir pada masa kabinet yang ke-17.
  6. Peletakan Batu Pertama (Tiang Pancang) Kota Palangka Raya oleh Presiden Sukarno dilaksanakan pada tanggal 17 Juli 1957.
  7. Saat menjabat sebagai Gubernur KDH Tk. I Propinsi Kalimantan Tengah, Tjilik Riwut mempunyai nomor telepon bernomor 17 dan mobil dinas dengan nomor polisi KH 17.
  8. Tjilik Riwut mengakhiri masa jabatan sebagai Gubernur KDH Tk. I Propinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 17 Pebruari 1967.
  9. Tjilik Riwut dipanggil oleh Sang Pencipta tepat pada tanggal 17 Agustus 1987.


Demikianlah legenda yang menceritakan asal-usul Bukit Batu serta hubungan eratnya dengan seorang tokoh besar Kalimantan Tengah, Pahlawan Nasional Tjilik Riwut yang bergelar :


Anak Nyaru Hapatar Batu
Antang Liang Habalau Kilat
Mangkalewu Bukit Batu

artinya :

Dewa Petir bertangga batu
Burung Elang berambut kilat
Penghuni Bukit Batu



Sumber :
loading...
loading...
Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar Yang Anda Sukai

No comments