2015/11/27

Asal Mula Suku Dayak Menurut Tetek Tatum

Asal Mula Suku Dayak Menurut Tetek Tatum

Melengkapi tulisan tentang "Itah", pada kesempatan ini penulis akan berbagi cerita yang diperoleh dari berbagai sumber berupa buku, buku digital (file pdf) dan media online tentang Asal Mula Suku Dayak (Uud Danum-Ngaju) Menurut Tetek Tatum.

Baca juga :


Dayak Uud Danum


Dayak Uud Danum adalah salah satu rumpun Dayak yang tertua, meliputi seluruh suku Dayak di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur bagian selatan dan Kalimantan Barat bagian tenggara, yang merupakan induk bagi Rumpun Dayak Ngaju.


Tetek Tatum


Tetek Tatum atau "TOHTOK TAHTUM" dalam versi asli bahasa Dohoi/Uud Danum adalah cerita keagungan sejarah tentang asal usul nenek moyang suku Dayak Uud Danum (induk dari rumpun Dayak Ngaju) yang juga menceritakan tentang epik kepahlawanan para ksatria Uud Danum, yang dituturkan secara lisan turun-temurun kepada generasi penerus. Pewarisan budaya itu dilakukan dengan cerita berseri yang dilantunkan atau dinyanyikan, diiringi dengan alat musik kacapi (alat musik berdawai dua bernada minor).

Seorang Tokoh Dayak Uud Danum Kalimantan Tengah, Bapak Napa J. Awat menjelaskan bahwa istilah "TETEK" di sini mengacu kepada zaman, era atau masa saat Tatum itu terjadi. Arti sebenarnya menurut beliau adalah "Zaman Tatum atau Era Tatum", dimana istilah "TATUM" bukanlah "ratap tangis" sebagaimana pengertian dalam bahasa Dayak Ngaju melainkan "Cerita Keagungan dan Ketangkasan Tambun Bungai dan para ksatria Uud Danum Lainnya".

Dari sejarah yang diceritakan melalui Tetek Tatum diketahui bahwa suku Dayak Uud Danum atau Dayak Ngaju berasal dari hulu-hulu sungai kemudian menyebar menuju ke arah hilir sungai-sungai yang ada di Kalimantan Tengah.


Asal Mula Suku Dayak Menurut Tetek Tatum

Menurut Tetek Tatum, diceritakan bahwa nenek moyang suku Dayak (Uud Danum/Ngaju) berasal dari langit ke tujuh, yang diturunkan ke dunia menggunakan suatu wadah yang terbuat dari emas yang disebut Palangka Bulau, di empat tempat terpisah yaitu :

  1. Tantan Puruk Pamatuan di hulu Kahayan dan Barito, di puncak Bukit Pamatuan, suatu dataran tinggi antara hulu sungai Kahayan dan sungai Barito. Atas kehendak Ranying Hatalla Langit (Tuhan) diturunkanlah seorang lelaki (sebenarnya Sang Hyang atau dewa) bernama Antang Bajela Bulau (menurut Tatum) atau Tunggul Garing Janjahunan Laut menurut Mahanteran, dalam upacara Tiwah. Dengan kesaktiannya Antang Bajela Bulau menciptakan dua orang lelaki yang dinamainya Lambung dan Lanting (dalam Mahanteran mereka itu adalah Maharaja Bunu dan Maharaja Sangen). 
  2. Datah Takasiang Rakaui Sungai Malahui, di atas batu granit hitam (seperti warna hitam bulu burung tangkasiang) di hulu sungai Rakaui yang bermuara di sungai Malahui (sekarang termasuk daerah Kalimantan Barat), Ranying Hatala Langit menurunkan dua butir telur burung (enggang dan elang) yang ketika sampai di tanah menjelma menjadi seorang lelaki dan tiga orang perempuan. Yang lelaki bernama Litih atau Tiung Layang, kemudian menjadi Jata (mendiami dan menguasai dunia dalam air, dewa alam bawah), sedang ketiga perempuan itu masing-masing bernama Kamulung Tenek Bulau, Kameloh Putak Bulau dan Lentar Katingei Bulau. Kameloh Putak Bulau meninggal dunia, dan mayatnya hanyut ke laut hingga terdampar di pulau Mako. Namun oleh saudaranya Jata, ia dihidupkan kembali dengan meminumkannya air kehidupan. 
  3. Tatan Liang Mangan Puruk Kaminting, Ranying Hatala Langit menurunkan lagi Palangka Bulau dan terciptalah Karangkang yang dalam Mahanteran disebut Maharaja Sangiang. 
  4. Puruk Kambang Tanah Siang Hulu Barito, terciptalah seorang putri bernama Nyai Sikan.


Kisah Pengembaraan Lambung (Maharaja Bunu)


Selanjutnya diceritakan, begitu Lanting (Maharaja Sangen) dan Karangkang (Maharaja Sangiang) bertemu di dalam pengembaraan mereka, mereka berdua lalu sepakat bersama-sama berjalan menuju Datah Tangkasiang Rakaui Malahui dan berjumpa dengan kedua perempuan yang tinggal di sana. Singkat cerita, Lanting kawin dengan Lentar Katingei Bulau, melahirkan tiga puluh orang anak yang kelak keturunannya menjadi nenek moyang suku Dayak Heban (Iban), sedangkan Karangkang menjadikan Kamulung Tenek Bulau sebagai isterinya, melahirkan enam orang anak yang kelak keturunannya menjadi nenek moyang suku Dayak Punan.

Alkisah, Lambung (Maharaja Bunu) yang menyusul belakangan ke Datah Tangkasiang tidak berhasil menemukan perempuan untuk dijadikan isteri, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengembara dari sungai Rakaui dan menghiliri sungai Malahui dan tiba di Sungai Kapuas Buhang, di situ ia berjumpa dan berniat melamar seorang putri cantik, berambut panjang serta berkulit kuning langsat, yang mengaku dirinya adalah bawin kangkamiak atau siluman penjelmaan dari burung kangkamiak.

Buku "The Ot Danum From Tumbang Miri Until Rungan (Based on Tatum) Their Histories And Legends" menterjemahkan Bawin Kangkamiak sebagai hantu beranak atau kuntilanak, mungkin penulis buku mengaitkannya dengan mitos hantu kuntilanak yang "populer" di kalangan masyarakat sekitar Sungai Kapuas Buhang (Pontianak, Kalimantan Barat).

Bawin Kangkamiak tersebut menolak lamaran Raja Bunu, dan menyarankan Raja Bunu untuk pergi ke Pulau Mako karena jodohnya berada disana. Singkat cerita Raja Bunu berlayar menggunakan Banama (perahu) panjang dan tiba di Pulau Mako (negeri di Cina), lalu berjumpa dengan Putri Kameloh Putak Bulan, dan menikahlah mereka berdua. Dari perkawinan mereka melahirkan lima orang anak, yaitu :

  1. Sempung Amai Bungai.
  2. Sarupoi Amai Tambun.
  3. Nyai Etan.
  4. Nyai Rambu.
  5. Tingang Rambang Kumpang.

Beberapa puluh tahun kemudian Lambung atau Maharaja Bunu rindu pada saudara-saudaranya di Pulau Kantan (sebuah tempat dekat sungai Kahayan-Pangkoh, Petak Bahandang) yang sudah lama ditinggalkannya. Maka pulanglah Raja Bunu kembali membawa serta istrinya ke Pulau Kantan tempat asalnya. Ia lalu mengajak seluruh keluarganya kembali pulang, kecuali Sempung yang dengan sengaja tinggal dahulu sebab ada yang ingin dipelajarinya di Pulau Mako (negeri Cina) itu.

Setibanya di Pulau Kantan mereka kemudian terus berjalan dengan berjalan kaki ke sungai Kahayan. Jalan yang mereka lalui dinamai Jalan Sua Urau Hulu Kahayan, sampailah mereka di suatu dataran tinggi yang tanahnya subur di perhuluan antara sungai Joloi yang bermuara di sungai Barito dan sungai Kahayan, yang dinamai Rangan Marau.

Keluarga Lambung inilah yang keturunannya nanti di kemudian hari terkenal karena habitatnya yang berada di perhuluan sungai-sungai besar yakni sungai Barito, Kahayan, Kapuas dan Katingan, yang disebut suku Dayak Uud Danum (Uud berarti hulu, Danum berarti air, sungai) dan suku Dayak Ngaju (ngaju = hulu).


Kedatangan Sempung


Sempung anak tertua dari Lambung (Maharaja Bunu), ketika Lambung pulang kembali ke Pulau Kantan, Sempung masih menetap di Pulau Mako negeri Cina, dan masih belajar menuntut ilmu sebanyak-banyaknya di negeri Cina. Berbagai ilmu dia pelajari dari seni bela diri, ilmu berperang, pemerintahan, pertanian, perkebunan, pertukangan, perbintangan, pelayaran, perniagaan sampai bagaimana cara membuat tempayan, menambang emas dan sebagainya. Sesudah merasa cukup lama rasanya, dia pun lalu pulang untuk bertemu keluarganya.

Mungkin karena Sempung cukup lama berada di negeri Cina maka kulitnya berwarna putih disertai beberapa orang temannya yang memang orang Cina, dia lalu dikira orang Cina. Menurut manuskrip kuno Tiongkok menyebutkan tentang mendaratnya sekelompok suku dari daerah provinsi Yunan (Cina) di pantai utara pulau Borneo, pada sekitar 700 tahun sesudah Masehi dibawah pimpinan Sam Hau Fung. Sebuah sungai di daerah Sabah mereka masuki sampai ke hulunya, sungai itu lalu dinamakan mereka sungai Miri.

Sesudah beberapa waktu lamanya menetap di tempat itu Sam Hau Fung merasa tidak kerasan. Ia ingin mencari suatu dataran yang subur tempat bercocok tanam. Menerobos hutan rimba belantara daerah Sabah dan Serawak (Malaysia Timur), ia terbentur pada gugusan pegunungan yang sekarang kita kenal dengan sebutan pegunungan Muller-Schwanner.

Perjalanan yang panjang itu berakhir pada suatu lembah di kaki bukit Kaminting, disuatu daerah di hulu antara sungai Joloi yang bermuara di sungai Barito dan sungai Kahayan yang bernama Rangan Marau.

Menurut Tetek Tatum (babad Tanah Dayak), Sempung (Sam Hau Fung) telah bertemu dengan bapaknya Lambung (Maharaja Bunu). Di tempat ini Sam Hau Fung lalu menetap dan kawin dengan seorang gadis di situ bernama Nyai Endas anak dari Karangkang (Maharaja Sangiang) di Rangan Marau ini yang memang saudara bapaknya Lambung.

Pada suatu hari beberapa orang lelaki dibawah pimpinan Lambung dari dusun Rangan Marau itu pergi berburu ke dalam hutan. Dalam perjalanan itu, mereka bertemu dengan rombongan pemburu lainnya, yang terlihat nampaknya berasal dari daerah sungai Mahakam (Kalimantan Timur). Mereka sangat muda, jelas terlihat dari wajahnya serta sangat gesit sekali.

Bertemu dengan mereka ini kelihatannya tidak menunjukkan sikap ramah, namun sebaliknya malah mereka dari Mahakam ini nampaknya mencoba untuk membunuh anak buah Lambung. Perkelahian sengit tidak dapat dihindari dan berkat ketangkasan Lambung serta anak buahnya, seluruh rombongan pemburu itu semua terbunuh. Hanya seorang pemuda dibiarkan hidup.


Utus Lambung Halisang (Keturunan Lambung Bermigrasi)


Beberapa tahun kemudian setelah kejadian berdarah itu, terdengar berita bahwa orang-orang dari sungai Mahakam itu sebenarnya berasal dari desa Rangan Pulang, akan pergi mengayau untuk membalas dendam ke Rangan Marau. Terdengarnya berita mengenai rencana penyerangan orang-orang dari sungai Mahakam terhadap penduduk desa Rangan Marau, maka Sempung segera mengumpulkan seluruh warga desanya itu berembuk mengatur kesepakatan menghadapinya. Dalam musyawarah tersebut bulat mufakat mereka itu, agar pindah saja mencari tempat yang baik dan aman.

Saat itu dusun Rangan Marau terdiri dari 13 keluarga saja berjumlah 300 jiwa, diantaranya seorang kepala keluarga adalah wanita. Tapi yang jelas mereka semua adalah anak menantu Lambung, yang kini sudah tua dan sakit-sakitan. Sempung berpendapat, jika mereka tetap berada di sana tidak mustahil semuanya nanti akan lumat. Dalam perpindahan nanti mereka akan berpencar, setiap kepala keluarga merupakan pemimpin kelompoknya. Ini guna menghindari agar ras (suku bangsa) ini tidak seluruhnya musnah.

Perjalanan lewat air dengan menghiliri sungai Miri dimulai. Rakit dihanyutkan satu persatu dengan teratur. Kaum lelaki yang muda dan tangkas dari setiap kelompok keluarga yang berada pada masing-masing rakit bertugas menjaga arah larutnya rakit itu, agar tidak tertumbuk ke tepi sungai. Untuk menghilangkan rasa lelah, bergantian dari setiap rakit membunyikan tetabuhan tradisional berupa pemukulan gong, kenong dan gendang.

Sebagai petunjuk agar mendapat tempat tinggal yang baik di sungai Kahayan nanti, Sempung mempergunakan seekor ayam jantan yang diperolehnya sewaktu ia merantau dahulu. Sebagian para penyabung ayam menamainya ayam kemudi besi sebab di ekornya terdapat sehelai bulunya yang sangat panjang dan berwarna hitam. Ayam milik Sempung itu semua bulunya berwarna putih dan dinamakannya Atung Sempung. Kokoknyalah nanti yang digunakan sebagai pertanda bagi satu kelompok keluarga untuk singgah dan menetap pada suatu tempat. Pekerjaan seperti ini di kalangan masyarakat suku Dayak Ot Danum disebut dengan meramal kepergian dan tempat kediaman.

Berikut adalah nama desa dan kepala keluarga yang menempati setiap lokasi yang mereka temukan dalam perjalanan halisang tersebut:

  1. Kajai, Desa Tumbang Miri
  2. Piak, Desa Liang Narui (Batu Tamarang Kandang)
  3. Atang, Desa Tumbang Habaun Rangan Bintang
  4. Isuh, Desa Batu Nyiwuh
  5. Etak, Desa Tewah
  6. Sempung, Desa Tumbang Pajangei
  7. Nyohungan, Desa Saran Rangan (Sare Rangan)
  8. Sarunukan, Desa Tumbang Manyangan
  9. Anju, Desa Robohu Tutung Pitu (Kuala Kurun)
  10. Rating, Desa Tampang Dirun Tingang (Tampang)
  11. Mina Biran, Desa Tarawan (Pahawan)
  12. Tumbung, Desa Tutuk Tangkahen Tintu Tutuk Rantau (Tangkahen)
  13. Rakou, Desa Tumbang Rungan


Tambahan


Sempung adalah seorang yang gemar mengembara yang terkenal memiliki ilmu kesaktian langka "Pamisit Bumi", yang memungkinkannya mendatangi berbagai tempat dalam waktu yang singkat. Dalam pengembaraannya ke berbagai tempat Sempung tidak hanya sekedar "jalan-jalan" tapi juga menikah dan memiliki isteri berjumlah tujuh orang, yaitu :
  1. Nunyang
    Adalah isteri pertama Sempung, melahirkan anak perempuan bernama Nyai Undang yang kelak dikenal sebagai seorang Pangkalima Bawi atau pemimpin wanita yang gagah berani dan disegani musuh yang tinggal di Kota Bataguh Pematang Sawang di Pulau Kupang.
  2. Huburang Buei Bulau Suei
    Keturunannya kelak menjadi nenek moyang suku Dayak di DAS Mahakam.
  3. Nyai Icong
    Seorang bangsa Tionghoa yang dibawa dari Semarang, sempat tinggal di Jawa Jangkang dekat Jangkang Hulu Kapuas, yang hingga kini keturunannya mempunyai keahlian dalam pembuatan gandang (gendang), garantung (gong), kangkanung, dll.
  4. Randi Bawin Sintang Pontianak
    Keturunannya menghasilkan nenek moyang suku Dayak Manukung, Dayak Malawei dan suku Dayak lainya di Kalimantan Barat.
  5. Bintang Bawin Sampit tanah Ambau
    Keturunannya merupakan nenek moyang suku Dayak Tamuan, Dayak Mentaya.
  6. Nyai Sanuhung Bawin Japang
  7. Nyai Endas
    Keturunannya merupakan nenek moyang suku Dayak di Daerah Rungan dan Manuhing, Suku Dayak Tabuyan dan Suku Dayak Murut di Kalimantan Barat.


Sumber  :
  • Tjilik Riwut. 1979. Kalimantan Membangun.
  • Tjilik Riwut. 2003. "Anak Turunan Maharaja Buno - Sempung" dalam Dra. Nila Riwut (Ed.) Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur). (hal. 427-430)
  • Abdul Fattah Nahan & During Dihit Rampai. 2010. The Ot Danum From Tumbang Miri Until Tumbang Rungan (Based on Tatum) Their Histories And Legends.
  • HUMABETANG. 2014. "Tetek Tatum Asal Mula Suku Dayak". (Online) http://humabetang.web.id/dayak/2014/tetek-tatum-asal-mula-suku-dayak (diakses Nopember 2015)
loading...
loading...
Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar Yang Anda Sukai

No comments