Legenda ini bermula di sebuah desa yang pada jaman dahulu bernama Upun Batu (sekarang bernama desa Tumbang Manange, Kecamatan Tewah, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah).
Alkisah, pada saat itu warga desa Upun Batu sedang memasuki musim panen, hampir seluruh warga desa pergi memanen padi di ladang, sehingga yang tersisa hanya beberapa orang saja terutama kaum wanita yang beraktifitas di desa. Di antara mereka yang tetap berada di desa terdapat seorang wanita yang bergelar "Nyai Inai Rawang", isteri dari "Toendan" yang bergelar "Tamanggung Amai Rawang".
Tanpa diduga ketika semua orang masih berada di ladang, tiba-tiba datanglah gerombolan orang "Ot" dari hulu sungai yang terkenal dengan sebutan "Asang" (perampok dan pemburu kepala) menyerang desa Upun Batu, saat itu para wanita yang tersisa menunggu desa tengah asik mencuci pakaian di pinggir sungai Kahayan. Tanpa ada perlawanan gerombolan Asang membunuh siapapun yang mereka jumpai di desa. Dalam waktu singkat korban pun berjatuhan, beberapa orang langsung terbunuh, sebagian terluka, beberapa orang yang beruntung berusaha melarikan diri.
Sementara di ladang, Tamanggung Amai Rawang tiba-tiba merasa gelisah, kepekaan batinnya yang sudah terasah menangkap firasat buruk menandakan sesuatu yang tidak diinginkan sedang terjadi. Lalu dengan ditemani adiknya yang bernama "Tewek", Tamanggung Amai Rawang memutuskan untuk pulang ke desa Upun Batu.
Sesampai di desa terkejutlah mereka melihat pemandangan yang memilukan, mayat-mayat bergelimpangan dan beberapa orang terluka parah. Setelah mengetahui kejadian dan siapa pelakunya, Tamanggung Amai Rawang memerintahkan seseorang yang bernama "Singa Puai" pergi ke ladang untuk memberitahukan kejadian tersebut kepada orang yang dituakan yang bernama "Ucek" serta mengajaknya untuk "mambaleh bunu" (membalas dendam).
Kemudian berangkatlah Singa Puai menuju ladang, setibanya di ladang Singa Puai terkejut bukan kepalang, ternyata gerombolan Asang telah lebih dahulu tiba kemudian menyerang dan membunuh orang-orang yang sedang asik memanen padi.
Selain menyerang dan membunuh, Asang juga meninggalkan pesan bahwa mereka akan kembali menyerang desa Upun Batu tujuh hari lagi, jika ingin selamat maka warga desa Upun Batu harus menyerahkan seluruh harta benda dan bersedia menjadi jipen (budak) mereka. Sebelum pergi mereka meninggalkan "Totok Bakaka" (sandi) berupa "Sampalak" sebagai tanda bahwa mereka akan menyerang lokasi tersebut.
Malam itu, Tamanggung Amai Rawang bersama Tewek, Singa Puai dan beberapa warga yang selamat dari amukan Asang berkumpul dan berunding saling bertukar pikiran tentang kejadian yang menimpa desa mereka, serta membahas apa yang harus mereka lakukan selanjutnya.
Sedih, marah dan putus asa, demikianlah yang mereka rasakan. Niat membalas dendam telah kandas karena hanya tinggal mereka kekuatan yang tersisa. Ketakutan pun melanda, tujuh hari lagi mereka akan kembali diserang oleh Asang.
Akhirnya diputuskan untuk melakukan ritual "Manajah Antang" yaitu sebuah ritual di kalangan suku Dayak Ngaju untuk meminta petunjuk dan bantuan kepada dewata melalui perantaraan burung antang (elang), mereka sepakat melakukan ritual tersebut di sebuah tempat sakral berupa bukit berbatu yang berada persis di seberang desa Upun Batu.
Keesokan hari, dalam ritual Manajah Antang tersebut, mereka mendapat petunjuk dari "Antang Patahu" (kekuatan gaib penjaga desa), yaitu :
- Tamanggung Amai Rawang diminta segera mendirikan "kuta" atau benteng di atas bukit batu tempat mereka melakukan ritual Manajah Antang.
- Apabila Asang datang menyerang dari arah matahari terbenam, maka Tamanggung Amai Rawang beserta warga Upun Batu harus segera pergi menyelamatkan diri karena itu pertanda mereka akan kalah.
- Apabila Asang datang menyerang dari arah matahari terbit maka itu artinya mereka akan menang melawan Asang.
- Tamanggung Amai Rawang tidak diperkenankan "manyilak mandau" atau mengeluarkan mandau dari kumpang (sarung mandau) untuk menghadapi musuh. Dan selama musuh menyerang ia diperintahkan untuk duduk di atas sebuah "garantung" (gong) menyaksikan apa yang terjadi nanti, karena Antang Patahu sendiri yang akan turun tangan menghadapi Asang.
Setelah menerima petunjuk dari Antang Patahu, segeralah Tamanggung Amai Rawang bersama warga Upun Batu membuat benteng di puncak bukit tempat mereka melaksanakan ritual Manajah Antang. Jika dipikir dengan akal, suatu hal yang mustahil membuat benteng dalam waktu kurang dari tujuh hari. Namun atas bantuan Antang Patahu, mereka berhasil membuat benteng tesebut dalam waktu yang sangat terbatas.
Tujuh hari pun berlalu, dan tepat di hari yang ke delapan, sayup-sayup terdengar pekik lahap dan tukiw menggema, makin lama teriakan-teriakan khas perang itu makin jelas terdengar bersamaan dengan kedatangan gerombolan Asang dari arah terbitnya matahari.
Ketika gerombolan Asang telah berada di depan benteng pertahanan Tamanggung Amai Rawang, pekik lahap dan tukiw kembali menggema yang bertujuan untuk menggentarkan semangat warga Upun Batu yang mendengarnya. Segera Tamanggung Amai Rawang mencari tempat yang terbuka di puncak bukit lalu duduk di atas gong sesuai petunjuk Antang Patahu.
Kemudian secara serentak gerombolan Asang ini berusaha menaiki benteng, yang segera disambut dan dijatuhkan oleh Antang Patahu yang kehadirannya tidak disadari oleh para penyerang. Gelombang demi gelombang serangan selalu dipatahkan oleh Antang Patahu, korban dari pihak Asang pun berjatuhan.
Pada akhirnya pemimpin Asang menyadari bahwa yang mereka hadapi adalah suatu kekuatan gaib yang tidak akan mampu mereka lawan. Pemimpin gerombolan Asang kemudian berteriak minta pengampunan kepada Antang Patahu, mereka mengaku kalah dan menyerahkan diri sebagai jipen Tamanggung Amai Rawang.
Setelah peristiwa itu, tidak ada lagi Asang-asang lainnya yang berani menyerang desa Upun Batu. Desa Upun Batu kembali aman dan warganya hidup sejahtera.
Bukit yang berada di seberang desa Upun Batu kemudian lebih dikenal dengan sebutan "Puruk Amai Rawang" (puruk = bukit). Adapun batu besar di tepi sungai Kahayan yang berdampingan dengan Puruk Amai Rawang disebut "Batu Suli" karena bentuknya menyerupai buah suli (buah khas Kalimantan)
Kini lokasi Puruk Amai Rawang dan Batu Suli telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Gunung Mas sebagai obyek wisata. Di lokasi tersebut dapat dijumpai Batu Antang (Batu Tingkes) yang konon dipercaya merupakan tempat Tamanggung Amai Rawang melakukan ritual Manajah Antang.
Pada Batu Antang tersebut terdapat celah kecil yang menurut kepercayaan masyarakat setempat barang siapa yang berhasil merayap melalui celah tersebut maka akan memperoleh umur panjang dan kekayaan yang melimpah.
Selain Batu Antang, di lokasi Puruk Amai Rawang juga terdapat kuburan Tamanggung Amai Rawang.
Keterangan :
- Jipen = budak
- Totok Bakaka = sandi atau bahasa isyarat yang pada awalnya hanya dimengerti masyarakat suku Dayak Ngaju. Penggunaan Totok Bakaka sejak jaman dahulu bertujuan antara lain untuk pernyataan perang, minta bantuan saat bahaya, larangan masuk atau melintas, bahkan untuk sekedar menunjukan status sosial dalam masyarakat.
- Lahap dan Tukiw = pekikan atau teriakan penuh semangat khas suku Dayak Ngaju. Dalam peperangan lahap atau tukiw diteriakan sebagai pemompa semangat para ksatria Dayak sekaligus bertujuan melemahkan mental musuh yang akan diserang.
- Puruk = bukit atau dataran tinggi
- Suli atau buah Suli = buah dari tanaman endemik hutan Kalimantan Tengah yang rasanya asam manis, namun lebih dominan asamnya.
Legenda ini ditulis kembali dalam bahasa Indonesia berdasarkan sumber cerita berbahasa Dayak Ngaju, dengan beberapa penambahan tanpa mengubah makna dan alur cerita.
Sumber :
- Sergius Tigoi. 2012. "Lengenda Batu Antang - Tamanggung Amai Rawang", URL: http://giusbuyuttigoi.blogspot.co.id/2012/11/lengenda-batu-antang-tamanggung-amai.html
loading...
loading...