Mendengar tentang kabar kecantikan Nyai Balau, seorang pemuda yang berasal dari keluarga terpandang memberanikan diri datang melamarnya. Selain tampan, pemuda itu juga bijaksana. Setelah melihat sosok dan latar belakang keluarganya, keluarga Nyai Balau pun setuju menerima lamaran tersebut. Pernikahan Nyai Balau pun dilangsungkan dengan meriah.
Sesudah menikah, Nyai Balau bermaksud untuk hidup mandiri bersama suaminya. Lalu dengan ditemani sang Suami, Nyai Balau menghadap kedua orang tuanya untuk menyampaikan maksudnya itu.
“Ayah, Ibu. Perkenankanlah Ananda dan suami untuk hidup mandiri, ” pinta Nyai Balau.
“Baiklah. Bila demikian yang kalian kehendaki, Ayah tidak dapat melarang. Ayah akan membantu kalian membuat rumah untuk tempat tinggal kalian nanti, ” tutur Ayah Nyai Balau.
Setelah rumah itu selesai dibangun, Nyai Balau dan suami pun segera menempatinya. Keduanya hidup dengan penuh kebahagiaan, saling menyayangi satu sama lain. Namun ada yang kurang, bertahun-tahun mereka menikah tetapi belum juga dikaruniai anak. Mereka tak pernah berputus harapan untuk selalu berdoa pada Tuhan supaya dikaruniai anak.
Akhirnya, Saat usia perkawinan mereka memasuki tahun yang ketujuh, Nyai Balau pun melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan.
“Puji syukur kepada Tuhan Penguasa Alam atas anugerah dan kebahagiaan ini, ” ucap Nyai Balau dengan penuh rasa syukur.
Suaminya juga tidak kuasa menahan rasa haru atas kebahagiaan yang dirasakannya.
“Sungguh kebahagiaan yang tak terkira, Dinda, ” ucapnya, “Sebagai wujud rasa syukur, nikmat Tuhan ini mesti kita rawat serta jaga dengan sebaik-baiknya. ”
“Dinda juga menginginkan anak kita kelak tumbuh menjadi anak yang berbakti serta berguna bagi sesama, ” kata Nyai Balau.
Mereka menghendaki anaknya berkembang dengan sewajarnya, ia menginginkan anaknya pandai bergaul dengan sesama serta bersahabat dengan siapapun di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, mereka memberi kebebasan kepada sang anak untuk bermain diluar rumah bersama dengan anak-anak seusianya di lingkungannya.
Hingga pada suatu sore, sang anak belum juga pulang dari bermain. Nyai Balau pun mulai gelisah.
“Kanda, mengapa hingga sesore ini anak kita belum pulang dari bemainnya? ” tanya Nyai Balau pada suaminya, “Padahal, biasanya dia selalu pulang ke rumah ketika hari telah sore. ”
“Ah, mungkin dia masih asik bermain bersama-sama teman-temannya, ” jawab suaminya.
“Tidak biasanya anak kita terlambat pulang ke rumah seperti sekarang ini, ” sanggah Nyai Balau.
Hari sudah gelap, namun anak mereka belum juga pulang ke rumah. Nyai Balau pun menjadi semakin risau.
“Kanda, mari kita mencari anak kita, ” ajak Nyai Balau.
Akhirnya, Nyai Balau bersama-sama suaminya bergegas mencari anak semata-wayang mereka ke seluruh penjuru kampung. Namun, hingga larut malam, anak mereka tak juga mereka temukan. Nyai Balau pun menangis tersedu-sedu memikirkan nasib putranya.
“Di mana anak kita Kanda? Sudah dicari ke mana-mana, tetapi tidak ada, ” keluh Nyai Balau.
“Entahlah, Dinda. Kanda juga bingung, Kanda tidak tahu dimana keberadaan anak kita, ” jawab sang suami “Malam semakin larut, sebaiknya Dinda beristirahat dahulu. Pencarian kita teruskan besok saja. ”
Esok hari, Nyai Balau bersama sang Suami dengan dibantu oleh seluruh warga Tewah meneruskan pencarian, tetapi anak itu belum juga berhasil ditemukan. Betapa sedihnya hati Nyai Balau karena anaknya ternyata benar-benar telah hilang. Tetapi, ia tak mau berputus asa. Ia bertekad untuk terus mencari tahu keberadaan putranya.
Suatu hari, Nyai Balau diam-diam pergi menuju ke sebuah hutan yang belum pernah dijamah manusia. Di hutan itu, ia balampah atau bertapa untuk memohon petunjuk pada Tuhan Penguasa Alam. Setelah tujuh hari tujuh malam lamanya ie bertapa, akhirnya petunjuk itu datang melalui seorang nenek.
“Wahai, Cucuku! Berhentilah mencari putramu, ia telah tiada, ” kata nenek itu.
“Apa maksud, Nenek? ” tanya Nyai Balau dengan perasaan khawatir.
“Ketahuilah, Cucuku! Putramu telah dikayau (dipenggal kepala) oleh Antang dari Juking Sopang, ” lanjut nenek itu.
Mendengar hal itu, Nyai Balau tidak kuasa menahan air mata. Hatinya begitu sedih atas nasib yang menimpa putranya. Ia pun membulatkan tekadnya untuk menuntut balas atas kematian putranya. Tetapi, apa daya, dia tidak memiliki kesaktian untuk menghadapi para pembunuh putranya.
“Jangan risau, Cucuku! Aku akan membantu membalaskan dendammu. Aku akan memberimu ilmu dan kesaktian, ” tutur nenek itu yang mengetahui tekad Nyai Balau.
Nenek itu kemudian menurunkan kesaktiannya kepada Nyai Balau serta memberikan sebuah selendang sakti sebagai senjata pamungkas.
“Ambillah selendang sakti ini. Kapan saja kamu dapat menggunakannya untuk melawan musuh, ” tutur nenek itu seraya menyerahkan selendang itu kepada Nyai Balau.
“Terima kasih, Nek, ” ucap Nyai Balau.
Sesudah mendapatkan selendang itu, Nyai Balau pun segera kembali ke rumahnya. Setiba dirumah, suami serta seluruh keluarganya menyambutnya dengan perasaan lega.
“Oh, Dindaku! Engkau sudah membuat kami semua khawatir. Hampir setengah bulan lebih kami mencari-cari, namun tidak menemukan Dinda. Ke mana saja Dinda selama ini? ” tanya suaminya.
“Maafkan Dinda, Kanda! Dinda memang salah pergi dari rumah tanpa pamit kepada siapa pun, ” jawab Nyai Balau.
Nyai Balau kemudian menceritakan perjalanannya ke hutan itu hingga berjumpa dengan seorang nenek sakti. Ia juga menceritakan informasi yang diperolehnya dari nenek sakti itu tentang putranya yang telah meninggal dunia dikayau oleh Antang dari Juking Sopang. Oleh karena itu, ia pun mengajak suami serta semua keluarga dan sejumlah prajuritnya menuju Juking Sopang untuk menuntut balas atas kematian putranya.
Setiba di Juking Sopang, Nyai Balau meminta Antang mengakui kesalahannya serta meminta maaf.
“Hei, Antang! Benarkah kamu yang telah mengayau putraku? Jika memang benar, mengakulah serta memohon maaflah pada kami! ” seru Nyai Balau.
“Hai, wanita cantik! Kamu jangan sembarang menuduh seperti itu! Apa buktinya atas tuduhanmu itu? ” sangggah Antang.
“Kamu tidak usah menyangkal! Kamulah pelakunya! ” kata Nyai Balau.
Antang yang angkuh itu tetap tidak mau mengakui kesalahannya. Bahkan ia malah menyerang Nyai Balau. Diluar dugaan, ternyata wanita yang ia hadapi bukan orang sembarangan. Serangannya bisa dihindari dengan mudah oleh Nyai Balau. Antang yang mulai jengkel akhirnya menyerang Nyai Balau dengan membabi buta. Akan tetapi, begitu ia lengah, Nyai Balau yang sakti itu segera melemparkan selendangnya ke arah dada Antang. Seketika itu, Antang yang sombong itu kemudian jatuh tersungkur ke tanah.
Setelah berhasil merobohkan Antang, Nyai Balau lalu mengajak mereka untuk berdamai dan membahas ketentuan adat yang berlaku atas kejahatan pembunuhan. Pihak keluarga Antang bersedia menerima ajakan tersebut. Menurut adat suku Dayak, Antang harus membayar denda adat atas kesalahannya. Tetapi, kesombongan Antang belum habis. Ia menolak untuk membayar denda adat tersebut . Dengan sebagian sisa tenaga yang dimiliki, ia berupaya bangkit kemudian kembali menyerang Nyai Balau. Pertarungan sengit kembali berlangsung. Nyai Balau yang telah muak menyaksikan kesombongan pemuda itu segera menyerang dengan selendang saktinya. Antang pun tewas di tangan Nyai Balau.
Lalu Nyai Balau bersama suami serta rombongannya pulang dengan perasaan lega. Sejak kejadian itu, Nyai Balau dikenal sebagai wanita yang sakti. Kampung Tewah menjadi aman dan damai. Tidak ada yang berani mengusik kedamaian itu lantaran takut pada kesaktian Nyai Balau. Atas permintaan seluruh masyarakat Tewah, Nyai Balau kemudian dinobatkan sebagai pemimpin. Wanita sakti itu memerintah dengan penuh bijaksana sehingga Tewah semakin makmur.
Sementara itu di kampung Juking Sopang, keluarga Antang ternyata menaruh dendam pada Nyai Balau. Setelah diam-diam menyusun kekuatan, mereka lalu bergerak menuju Tewah untuk melakukan penyerangan. Supaya kehadiran mereka tidak diketahui oleh Nyai Balau dan warga Tewah, mereka sengaja melalui jalan darat dengan menerobos hutan belantara dan perbukitan yang belum pernah dilewati manusia.
Rombongan pasukan keluarga Antang itu akhirnya tiba di Bukit Ngalangkang yang lokasinya berada di belakang kampung Tewah ketika hari telah senja, mereka kemudian berhenti untuk mengatur siasat. Saat hari mulai gelap, mereka lalu turun dari bukit untuk menyerang Tewah. Anehnya, setiap kali akan memasuki kampung Tewah, mereka selalu tersesat dan kebali ke bukit Ngalangkang. Hal semacam itu berlangsung hingga berhari-hari lamanya.
“Lho, mengapa kita hanya hanya berputar-putar di sekitar perbukitan ini? ” tanya salah seorang anggota keluarga Antang.
Seorang anggota keluarga yang lain menyahut, “Ini pasti disebabkan oleh kesaktian Nyai Balau. Aku yakin, dia telah membentengi Tewah dengan Ilmu Salatutup sehingga kampung itu tak dapat dilihat oleh musuh. ”
"Jika demikian, ayo kita buka salatutupnya, pergunakan segenap kesaktian kita " ujar yang lain.
Dengan segenap kemampuan dan ilmu kesaktian yang dimiliki, para pasukan dari Juking Sopang berusaha membuka salatutup yang melindungi kampung Tewah, namun tidak berhasil. Nampaknya ilmu kesaktian Nyai Balau lebih tinggi dari kesaktian orang-orang dari Juking Sopang.
Akhirnya, pasukan keluarga Antang itu memutuskan untuk pulang ke Juking Sopang dengan perasaan kecewa. Sementara itu, Nyai Balau dengan kesaktiannya telah mengetahui peristiwa yang berlangsung di sekitar Bukit Ngalangkang. Namun, ia baru memberitahukan hal tersebut kepada warganya setelah pasukan musuh itu pergi.
Setelah peristiwa itu, tidak pernah lagi ada musuh yang berani mengusik kampung Tewah. Demikian juga warga Tewah, tidak seseorang pun yang berani berbuat kejahatan karena takut pada Nyai Balau. Hingga akhirnya hayatnya, Nyai Balau memimpin Tewah dengan bijaksana. Atas jasa-jasanya serta kisah kepahlawanannya, Nyai Balau senantiasa dikenang sebagai "Pangkalima Bawi" atau Panglima Wanita Dayak yang sakti dan bijaksana sebagai pemimpin.
***
Demikian kisah nyata tentang Nyai Balau. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah sifat kepemimpinan Nyai Balau yang bijaksana patut dijadikan teladan. Hal ini tergambar dalam keputusannya untuk memagari kampung Tewah dengan ilmu "salatutup" yang selain berfungsi melindungi warga Tewah dari serangan musuh, juga menghindarkan mereka semua dari pertumpahan darah yang lebih besar yang secara tidak langsung juga menghentikan "lingkaran tak berujung" saling membalas dendam di kedua belah pihak.
Baca juga kisah menarik ksatria wanita dayak lainya dalam Legenda Nyai Undang dan Pertempuran di Kuta Bataguh
Sumber :
loading...
loading...