Pada jaman dahulu di suatu tempat di pinggir sungai Mangkatip hiduplah beberapa kepala keluarga yang penduduknya kurang lebih seratus jiwa yang dipimpin oleh seorang yang berilmu tinggi sakti mandraguna bernama Damang Bahandang Balau. Beliau adalah seorang Damang yang memiliki rambut berwarna merah sejak lahir, oleh karena itulah beliau terkenal dengan sebutan Damang Bahandang Balau atau Damang Berambut Merah. Mereka yang berdiam di tepi sungai Mangkatip ini sesungguhnya masih kerabat atau keturunan dari Betang Sungei Pasah yang didirikan pada tahun 1806.
Secara fisik Damang Bahandang Balau memiliki badan tinggi dan kekar, serta mempunyai kesaktian yang sukar untuk ditandingi oleh siapapun. Konon diceritakan bahwa semasa mudanya ketika masih tinggal di Betang Sungei Pasah, Damang Bahandang Balau gemar memperdalam ilmu kesaktian dengan cara "balampah" atau bertapa, hingga pada suatu ketika saat sedang balampah ia ditemui mahkluk gaib yang memberinya sebilah keris pusaka luk tiga.
Selain sakti dan mahir beladiri, Damang Bahandang Balau juga terkenal adil dan bijaksana dalam memutuskan suatu perkara, oleh karena itu beliau sering dipanggil untuk diminta bantuannya ke daerah lain untuk menangani masalah serta persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh kepala kampung atau damang lainnya.
Damang Bahandang Balau memiliki seorang adik perempuan, seorang gadis yang berparas cantik bernama Bawi Nyai. Sebagaimana adat dan tradisi suku Dayak Ngaju pada masa itu, Bawi Nyai juga menjalani "Kuwu" atau pingitan sehingga tidak diperkenankan untuk keluar rumah dan harus tinggal di kamar khusus yang disebut kamar Kuwu. Hal ini juga berlaku secara umum pada anak gadis dari keluarga terpandang atau bangsawan lainnya di masa itu. Masa Kuwu akan berakhir jika para gadis itu telah menikah.
Kabar tentang kecantikan adik Damang Bahandang Balau ini tersebar luas ke seluruh penjuru tanah Dayak kala itu. Banyak pemuda dari berbagai daerah berdatangan untuk meminang Bawi Nyai namun selalu ditolak secara halus dengan alasan belum bersedia menikah.
Hingga pada suatu hari datanglah seorang pemuda gagah dan tampan beserta rombongannya yang berasal dari daerah Dusun Timur yaitu Desa Dayu yang berniat melamar Bawi Nyai. Ternyata pemuda beserta rombongannya ini bukanlah orang asing bagi keluarga besar Damang Bahandang Balau, masih ada pertalian kekerabatan di antara mereka. Gayung pun bersambut, setelah melalui perundingan adat maka lamaran tersebut diterima. Pesta perkawinan diputuskan akan dilangsungkan satu bulan ke depan dengan suatu pesta besar selama tujuh hari tujuh malam.
Setelah permufakatan tentang perkawinan selesai, rombongan pemuda dari Desa Dayu tadi kembali ke desanya untuk mempersiapkan "Jalan Hadat" yang harus dipenuhi serta segala sesuatu yang diperlukan unt penyelenggaraan pesta perkawinan nanti. Begitu juga Damang Bahandang Balau bersama warga desanya pun bergotong-royong mempersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan pesta. Kabar akan diselenggarakannya pesta perkawinan pun disebarluaskan ke desa-desa sekitar agar menghadiri pesta tersebut satu bulan kemudian. Demikianlah sejak saat itu aktifitas warga desa pun meningkat, terlihat kesibukan di sana sini dalam suasana bergembira karena akan menyambut pesta perkawinan adik kesayangan pemimpin yang mereka cintai.
Hari perkawinan Bawi Nyai pun tiba, rombongan mempelai laki-laki juga telah hadir di Betang kediaman Damang Bahadang Balau, demikian halnya para tamu undangan dan para kerabat dari desa-desa sekitar sudah berdatangan untuk menyaksikan dan memeriahkan pesta. Gandang (gendang) dan garantung (gong) pun mulai ditabuh dengan irama suka cita, suasana menjadi ramai dan riang gembira. Berbagai macam jenis hiburan seperti balian karunya, sansana, kandan, karungut, tomet leot, dego, deder, parung, tasai, kanjan ditampilkan bagi tamu undangan yang sebagian besar adalah keluarga besar Damang Bahandang Balau yang berasal dari berbagai daerah aliran sungai di Kalimantan. Semua datang untuk menghadiri pesta adat perkawinan terbesar untuk adik Damang Bahandang Balau, yang merupakan perpaduan dua adat yaitu secara adat Dayak Ngaju dan adat Dayak Maanyan.
Puncak ritual perkawinan tersebut adalah upacara hasaki, yaitu kedua mempelai duduk bersanding pada sebuah garantung atau gong besar, kemudian keduanya diolesi dengan darah binatang. Upacara ini dilakukan pada hari yang kedua. Pada prosesi ini Bawi Nyai akan keluar dari kamar kuwunya dan memperlihatkan dirinya kepada calon suami dan khalayak umum untuk yang pertama kalinya. Decak kagum pun bergemuruh takala semua orang melihat kecantikan Bawi Nyai, rona bahagia terlihat jelas dari senyumnya, beitu juga sang suami yang duduk di sampingnya. Keduanya terlihat bahagia dalam proses memasuki kehidupan mereka yang baru.
Pesta pun berlanjut hingga malam yang ketujuh atau malam yang terakhir. Biasanya malam terakhir pesta perkawinan merupakan malam puncak kemeriahan pesta, namun malam itu semuanya tampak kelelahan dan tidak kuasa menahan kantuk. Alhasil, belum sampai tengah malam semua orang tertidur dengan lelapnya. Riuh pesta dengan tetabuhannya tiba-tiba hilang ditelan heningnya malam.
Hanya Bawi Nyai sendiri yang masih terjaga dan terlihat gelisah di dalam kamar pengantinnya lantaran merasa kepanasan. Lalu ia memutuskan untuk keluar secara diam-diam seraya membangunkan jipen pengasuhnya untuk menemaninya turun dari betang.
Malam itu bulan bersinar sangat terang menerpa permukaan sungai memantulkan kerlip cahaya keemasan yang menarik perhatian Bawi Nyai, lalu timbulah niat untuk turun ke sungai untuk sekedar membasahi wajah dan tubuhnya yang sedang kepanasan.
Maka dengan ditemani seorang jipen pengasuhnya ia pun turun ke sungai yang berada di depan betang kediaman mereka. Namun malang bagi Bawi Nyai, setibanya di sungai seketika itu juga dalam sekejap mata tubuh Bawi Nyai diterkam dan diseret oleh seekor buaya besar, lalu menghilang masuk ke dalam sungai tanpa sempat berteriak meminta tolong.
Melihat kejadian tersebut, jipen pengasuhnya berteriak minta tolong sambil berlari menuju betang untuk membangunkan semua orang yang sedang tertidur dan memberitahukan kepada Damang Bahandang Balau dan semua orang di dalam betang tentang apa yang telah terjadi pada Bawi Nyai.
Mendengar hal itu seketika Damang Bahandang Balau berdiri lalu mencabut keris pusakanya seembari berkata "Kalian semua tunggu di sini, biar aku yang pergi menyelamatkan adikku Bawi Nyai. Jika dalam waktu tiga hari aku tidak kembali maka itu artinya aku gagal dan telah tewas di dasar sungai sana," kata Damang Bahandang Balau kepada semua orang. Setelah berpesan demikian, Damang Bahandang Balau lalu melompat dan terjun ke dalam sungai, meninggalkan semua orang yang tertegun dan takjub melihat aksinya.
Setelah sampai di dasar sungai, Damang Bahandang Balau pun berpindah alam secara gaib dan merasa sedang berjalan di tengah kampung yang ramai dan orang-orang terlihat sedang sibuk mempersiapkan suatu pesta. Lalu Damang Bahandang Balau menghampiri seseorang yang agak tua sembari bertanya "Apakah yang sedang dilakukan oleh warga di sini?" Orang yang ditanya itu pun menjawab, "Kami sedang mempersiapkan pesta perkawinan raja kami dengan seorang puteri bernama Bawi Nyai adik dari Damang Bahandang Balau, dari negeri para manusia di atas sana."
Mendengar hal itu, Damang Bahandang Balau pun marah lalu mengamuk membunuh siapa saja yang dijumpai di sepanjang jalan kampung itu. Warga pun panik, banyak yang berusaha melawan namun sia-sia saja dan akhirnya tewas di ujung keris Damang Bahandang Balau.
Mendengar kejadian itu, raja di kampung itu pun keluar menemui Damang Bahandang Balau sambil bertanya "Ada apa gerangan yang membuatmu marah dan membunuh rakyatku?", Damang pun menjawab dengan marah "Aku Damang Bahandang Balau dari negeri di atas sana, kembalikan adikku Bawi Nyai atau kalian semua aku bunuh!".
Raja kemudian berkata "Rakyatku tidak bersalah, berhentilah membunuh mereka, karena aku sendirilah yang menjemput Bawi Nyai. Dia ada di dalam istanaku, dalam keadaan baik-baik saja," lalu raja itu kembali berkata "adikmu akan aku kembalikan, aku mengaku salah. Namun ada satu hal yang perlu kamu ketahui mengenai perjanjian antara raja manusia dan raja buaya dahulu kala yang telah dilanggar oleh adikmu Bawi Nyai."
Damang Bahandang Balau pun penasaran dan bertanya "Apa isi perjanjian itu?" Lalu Raja itu menceritakan isi perjanjian antara raja manusia dan raja buaya :
- Manusia tidak diperbolehkan mandi di sungai saat matahari tepat di atas kepala, karena pada saat seperti itu bayangan manusia tidak ada.
- Pengantin baru tidak diperbolehkan mandi di sungai atau melakukan perjalanan menyusuri sungai, karena bagi para buaya aroma tubuh pengantin baru berbau harum dan mengundang hasrat buaya untuk datang mendekat.
- Manusia juga tidak diperbolehkan membunuh buaya jika tidak ada kesalahan buaya tersebut.
- Buaya tidak diperbolehkan berjemur di jalur yang biasa dilalui manusia.
- Buaya tidak diperbolehkan sembarangan membunuh manusia, hanya manusia yang memiliki "parasat" tanda tertentu di bagian tubuh yang boleh diserang dan dibunuh. Untuk itu bagi manusia yang memiliki tanda "farasat bajai" wajib untuk membuangnya dengan ritual tertentu.
- Buaya tidak diperbolehkan menggangu jaring, pukat, jala atau perangkap ikan lainnya serta tidak boleh menggigit umpan pancing milik manusia.
"Bawi Nyai telah melanggar hal itu, sebagai pengantin baru ia seharusnya tidak boleh berada di dekat sungai sampai masa "pali" atau pantangan pengantinnya berakhir," lanjut Raja itu menambahkan.
Setelah mendengarkan penjelasan Raja para buaya itu, Damang Bahandang Balau yang tadinya ganas dan beringas menundukan kepalanya dengan penuh rasa penyesalan lalu meminta maaf kepada raja buaya. Keduanya saling meminta maaf dan berjanji untuk menjadi sahabat walau berbeda alam.
Damang Bahandang Balau juga berjanji akan menguburkan secara layak mayat-mayat warga yang dibunuhnya tadi. Kemudian mereka pamit untuk pulang kembali ke alam manusia.
Setibanya di pinggir sungai, warga kampung bersuka cita menyambut keduanya yang pulang dalam keadaan selamat. Dengan perasaan lega warga dan kerabat yang tadinya cemas kembali beristirahat ke rumah masing-masing.
Ketika pagi tiba dan hari mulai terang tampaklah ratusan mayat buaya mengapung di tengah sungai, satu per satu Damang Bahandang Balau dibantu warganya mengumpulkan mayat-mayat itu lalu membuat satu lubang besar di sebuah lokasi yang tidak jauh dari kampung kemudian menguburkan mayat-mayat buaya tersebut dalam satu lubang. Lokasi itu kemudian disebut "Tambak Bajai" atau kuburan buaya.
Beberapa tahun setelah peristiwa itu, ada warga yang membangun rumah di dekat kuburan buaya tersebut, lambat laun lokasi itu menjadi pemukiman yang ramai dan orang-orang pun menyebut pemukiman baru itu dengan sebutan kampung atau desa Tambak Bajai.
***
Demikianlah kisah Damang Bahandang Balau dan Asal Mula Desa Tambak Bajai. Cerita di atas selain menunjukan betapa saktinya seorang Damang Bahandang Balau, juga penuh dengan pesan moral bahwa setiap perselisihan atau permusuhan dapat diselesaikan dengan jalan damai seperti yang terjadi antara Damang Bahandang Balau dengan Raja Buaya yang semula bertikai namun kemudian menjadi sahabat.
(Dari berbagai sumber)
loading...
loading...