2015/12/25

Antonino Ventimiglia dan Suku Dayak Ngaju

Antonino Ventimiglia lahir tahun 1642 sebagai seorang bangsawan di kota Palermo, pulau Sisilia, sebelah selatan semenanjung Italia. Beliau masuk biara St. Yosef milik pater-pater ordo Rohaniwan regulir Penyelenggaraan Ilahi yang berpusat di kota Theate, Italia. Oleh karena itu para pater dari ordo ini lebih dikenal dengan nama Pater-pater Theatin.

Antonino Ventimiglia dan Suku Dayak Ngaju

Merintis Misi Borneo

Antonino Ventimiglia ditunjuk untuk menjadi missionaris di Borneo (Kalimantan). Beliau berangkat dari Goa (India) tanggal 5 Mei 1687, dan tiba di Malaka, pelabuhan milik Belanda pada tanggal 12 Juni 1687. Kemudian beliau berangkat lagi ke Macao tanggal 12 Juni, dan tiba di Macao tanggal 13 Juli 1687.

Enam bulan kemudian, datang kapal dari Banjarmasin berlabuh di Macao. Dalam kapal itu terdapat pula orang-orang Melayu. Dari merekalah Antonino Ventimiglia mendapat berita bahwa Sultan Banjarmasin mau menjalin hubungan dagang dengan orang Portugis. Sultan berjanji untuk membagi tanah kepada orang Portugis guna membangun benteng. Sultan juga mengijinkan orang Portugis datang membawa seorang Pastor.

Akhirnya tanggal 16 Januari 1688 Antonino Ventimiglia berangkat dari Macao menuju Banjarmasin. Beliau berangkat tanpa membawa apa-apa kecuali sebuah salib yang dulu pernah dimiliki oleh St. Aloysius Beltrami.

Setibanya di Banjarmasin Antonino Ventimiglia segera merasakan tantangan-tantangan dalam menjalankan misinya. Saat itu keadaan politik di Kesultanan Banjarmasin "tidak aman", kapal Portugis yang ditumpangi Pater Ventimiglia tidak diperkenankan berlabuh. Antonino Ventimiglia dan seluruh awak kapal tetap tinggal di atas kapal.

Tidak lama kemudian datanglah beberapa perahu orang dari suku Dayak Ngaju memasuki pelabuhan untuk berdagang dengan orang-orang Malaka. Keinginan untuk kontak langsung dengan penduduk asli ini akhirnya terkabul, ketika dua orang diantara mereka mendekati kapal Portugis itu. Setelah pertemuan singkat dengan Ventimiglia, kedua orang Ngaju ini berpamitan dan berjanji akan kembali ke kapal.

Tanggal 3 Mei 1688, kedua orang kembali datang bersama dua orang teman dari suku Dayak Ngaju dan juga seorang Malaka. Ventimiglia menjelaskan keinginannya untuk tinggal bersama mereka. Sebagai kenang-kenangan, mereka diberi Rosario dan diajari menghormati salib. Orang-orang Ngaju itupun berjanji mau meneladani Pater Ventimiglia. Mereka kemudian kembali ke pedalaman, sedangkan Pater Ventimiglia masih tetap di kapal.

Setelah pedagang Portugis menyelesaikan urusan dagangnya, kapal Portugis itu kembali ke Macao. Ventimiglia terpaksa kembali ke Macao.

Kembali lagi ke Borneo

Setelah enam bulan berada di Macao, Ventimiglia bersiap untuk kembali lagi ke Banjarmasin. Pada perjalanan yang kedua ini beliau ditemani dua pemuda yaitu Felix seorang Tionghoa dan Lorenzo, pemuda suku Dayak Ngaju yang sebelumnya dijual sebagai budak oleh orang Malaka kepada orang Portugis yang bernama Turtuose. Ketika mendengar bahwa Ventimiglia akan ke Borneo, Turtuose membebaskan Lorenzo dan menyerahkan sepenuhnya kepada Ventimiglia untuk membantu beliau memasuki daerah Borneo.

Tanggal 30 Januari 1689 mereka tiba di Banjarmasin. Pada saat itu orang-orang Dayak Ngaju sedang berperang melawan Kesultanan Banjarmasin. Sekali lagi Ventimiglia menghadapi situasi yang tidak menguntungkan. Lalu Ventimiglia menyewa sebuah perahu kecil dan membuat ruang untuk berdoa diatas perahu itu. Kemudian pada tanggal 23 Pebruari 1689 Ventimiglia pindah dan tinggal lebih dekat dengan sebuah kampung di tepi pantai. Kampung tersebut tidak jauh dari kota Banjarmasin. Sementara itu Lorenzo telah berangkat menuju kampung halamannya di pedalaman.

Pada tanggal 10 Mei 1689 Ventimiglia merayakan Novena khusus di atas perahu. Pada hari kedua Novena, datanglah seorang Bapak, seorang perempuan, keponakan dan seorang ibu muda untuk bertemu dengan Ventimiglia. Bapak dan para pengikutnya menyatakan harapannya agar Ventimiglia sudi tinggal bersama mereka. Kemudian mereka memberi gelar kehormatan "Tatu" yang artinya nenek kepada Pater Ventimiglia.

Masuk ke Daerah Suku Dayak Ngaju

Setelah perjumpaan di atas, tepat di hari terakhir perayaan Novena, datanglah Bapak Angha, seorang kepala suku yang tinggal dekat dengan kapal Ventimiglia. Kepala suku ini datang bersama anak-anaknya berkunjung ke atas kapal, Ventimiglia sangat senang atas kunjungan ini.

Setelah kunjungan tersebut, Ventimiglia memutuskan untuk berkunjung ke kampung Bapak Angha. Itulah pertama kalinya Ventimiglia menginjakkan kaki di daratan Borneo (sejak kedatangan yang pertama beliau hanya beraktifitas di atas perahu). Beliau datang ke kampung tersebut bersama tiga belas orang dari kapal. Kepala suku, Bapak Angha dan seluruh penduduk kota senang atas kunjungan ini. Bapak Angha menyatakan keinginannya untuk menjadi Katolik, dan ia berjanji untuk menghubungi pangeran-pangeran lain di pedalaman yang bergelar Tamanggung dan Damang, keduanya merupakan kepala suku Ngaju di pedalaman.

Ventimiglia memberikan hadiah kepada kedua pangeran di pedalaman Kalimantan itu melalui Bapak Angha. Hadiah yang diberikan itu berupa cincin, gelang kaca dan bunga-bungaan dari Cina, dua buah gambar yaitu gambar St. Perawan Maria tak ternoda dan St. Kayetanus.

Kedua kepala suku Ngaju itu sangat gembira atas hadiah itu dan mereka sepakat untuk segera mempersiapkan kapal dan seratus buah perahu kecil untuk menjemput Pater Ventimiglia. Namun rencana itu mendapat kendala, karena sedang terjadi perang antara Sultan Banjarmasin dan suku Ngaju, maka orang-orang dari suku Ngaju yang mau menjemput Pater Ventimiglia yang masih berada di perairan Kesultanan Banjarmasin pasti mendapat perlawanan di perbatasan.

Pada tanggal 4 Juni 1689 datanglah putra Tamanggung dari pedalaman bersama paman dan sepuluh orang lain ke kapal Pater Ventimiglia. Mereka bertemu dengan Nahkoda kapal Portugis itu meminta ijin untuk membawa Pater Ventimiglia pergi ke daerah suku Ngaju bersama mereka.

Pada tanggal 25 Juni 1689 setelah mempersembahkan misa di kapal, Ventimiglia bersiap-siap untuk berangkat ke pedalaman, dengan kapal yang telah disiapkan oleh Nahkoda. Ikut pula dalam rombongan ini Lorenzo, dua orang putra Tamanggung serta empat pelaut yang siap membantu Nahkoda. Diatas kapal terpancang salib besar dengan tulisan : Lusitanorum Virtus et Gloria yang artinya (salib adalah Kekuatan dan Kemuliaan bangsa Portugis).

Tanggal 26 Juni 1689, rombongan Pater Ventimiglia tiba di muara sungai tempat kediaman suku Dayak Ngaju. Kapal yang ditumpangi Pater Ventimiglia segera mendekati kapal Tamanggung dan Damang yang telah menanti kedatangan mereka. Tamanggung dan Damang beserta pengikutnya naik ke kapal portugis itu. Sejak saat itulah Antonino Ventimiglia menutuskan untuk tinggal dan menetap di tengah-tengah masyarakat suku Dayak Ngaju.

Ketika mendengar berita tentang masuknya Nahkoda dan Pater Ventimiglia ke pedalaman, Sultan sangat marah karena merasa ditipu. Secara politis ekonomis, masuknya kapal Portugis ke pedalaman Borneo akan mengurangi pengaruh Sultan Banjarmasin di suku-suku pedalaman tersebut. Banjarmasin akan kehilangan hubungan dagang dengan suku Ngaju. Hal ini merugikan perekonomian Banjarmasin. Sultan Said Illah tidak mau membiarkan hal ini berlarut-larut dan ia berniat untuk membunuh Pater Ventimiglia.

Misteri Kematian Antonino Ventimiglia

  1. Versi pertama : Pater Ventimiglia meninggal karena dibunuh oleh Sultan Banjarmasin. Seorang Kapten Inggris, Daniel Beckmann, juga mengatakan hal yang sama bahwa Pater Ventimiglia mati terbunuh oleh Sultan Banjarmasin. Dari Batavia juga ada berita yang sama. Orang-orang Belanda mengatakan, Pater Ventimiglia dibunuh Sultan. Dan Dr. M.P.M. Muskens yang menulis sejarah Gereja Katholik, juga berpendapat bahwa Pater Ventimiglia dibunuh Sultan Banjarmasin.
  2. Versi kedua : Pater Ventimiglia meninggal karena dibunuh oleh orang Dayak Ngaju sendiri dengan sumpit beracun. Pendapat ini sulit diterima kebenarannya, karena Tamanggung dan Damang suku Dayak Ngaju sudah dibaptis bersama para pengikutnya dan menjadi Katholik.
  3. Versi ketiga : Pater Ventimiglia meninggal karena terserang disentri. Berita ini datang dari seorang Cina yang mendengar langsung dari orang Dayak Ngaju yang dekat Pater Ventimiglia.
  4. Versi keempat : Pater Ventimiglia meninggal secara wajar. Hal ini dikatakan oleh seorang tahanan yang dibawa ke Macao pada tahun 1693. Menurut pengakuannya, Pater Ventimiglia meninggal secara wajar dan dikuburkan didalam sebuah Gereja yang dibangun atas perintah Kapten Araugio ketika Pater Ventimiglia ke pedalaman.

Sementara itu beberapa orang telah berusaha keras meneliti hidup dan karya Pater Ventimiglia tidak memberikan suatu jawaban yang pasti mengenai akhir hidup perintis misi Borneo ini. Misalnya P. Bart Ferro dalam bukunya "Historis Della Missione De Chierici Regolari Theatin" jilid II tidak berani mengatakan bahwa Pater Ventimiglia mati terbunuh. Pendeta J.W. Gottin juga tidak berani menganggap Pater Ventimiglia sebagai Martir.

Dan dalam arsip Keuskupan Banjarmasin yang dibuat di Roma tahun 1693, terdapat salinan gambar Pater Ventimiglia. Namun tidak ada satu katapun yang menjelaskan tentang bagaimana akhir hidup Pater Ventimiglia.

Sungai "Rio Ngaju" yang disebut-sebut Pater Ventimiglia dalam suratnya, menurut Pater Bart Ferro, adalah Sungai Ngaju. Sedangkan menurut Robert Nicholl, sungai yang dimaksud adalah Sungai Barito. Pelabuhan yang disebut dalam tulisan terletak dekat Banjarmasin di tepi sungai Barito. Pendeta Gottin yang dengan sungguh sungguh meneliti karya Pater Ventimiglia juga yakin bahwa tempat karya Pater Ventimiglia di daerah Barito, bahkan mungkin sampai di Buntok.

Menurut Gottin, tidak menutup kemungkinan Pater Ventimiglia juga pergi ke Kuala Kapuas melalui sungai Murung. Akan tetapi ia juga berkeyakinan Pater Ventimiglia tidak berkarya di sungai Kahayan karena waktu itu belum ada terusan dari Kapuas ke Kahayan.

Pada tahun 1981 Pendeta Baier menerima surat dari seorang guru GKE di Kapuas. Guru itu mengungkapkan bahwa di dekat kampung Mantangai terdapat kuburan Portugis. Sebagai konfirmasi atas pernyataan ini, Pendeta mengirim surat kepada Mgr. W. Demarteau, MSF. Isi surat itu antara lain mengatakan bahwa ayah Pendeta Baier yang sudah bekerja sebagai Pendeta di Kalimantan Tengah sejak 1924, tahun 1941 mendengar dari pendeta pendahulunya, bahwa di sungai Kapuas di hilir Mantangai, misi Katholik sudah aktif sejak dua ratus tahun yang lalu.

Lain lagi pendapat Pater M. Gloudemans M.S.F. Menurut beliau, tempat karya Pater Ventimiglia dekat Pelaihari, dekat desa Gunung Raya. Di tempat itu pasti terdapat benteng Portugis. Pendeta Gottin yang lebih cenderung memilih daerah tepi sungai Barito mengatakan bahwa kalau tempat di dekat Pelaihari itu digali pasti ditemukan kuburan Portugis dan pondasi Gereja Katholik. Namun daerah tersebut jangan dianggap sebagai tempat karya Pater Ventimiglia.

Menurut Hermogenes Ugang, pada abad ke 17, seorang misionaris Roma Katholik bernama Antonino Ventimiglia pernah datang ke Banjarmasin. Dengan perjuangan gigih dan ketekunannya hilir-mudik mengarungi sungai besar di Kalimantan dengan perahu yang telah dilengkapi altar untuk mempersembahkan Misa, ia berhasil membaptiskan tiga ribu orang Ngaju menjadi Katholik. Pekerjaan dia dipusatkan di daerah hulu Kapuas (Manusup) dan pengaruh pekerjaan dia terasa sampai ke daerah Bukit. Namun, atas perintah Sultan Banjarmasin, Pastor Antonino Ventimiglia kemudian dibunuh. Alasan pembunuhan adalah karena Pastor Ventimiglia sangat mengasihi orang Ngaju, sementara saat itu orang-orang Ngaju mempunyai hubungan yang kurang baik dengan Sultan Surya Alam/Tahliluulah, karena orang Biaju (Ngaju) pendukung Gusti Ranuwijaya penguasa Tanah Dusun, saingan Sultan Surya Alam/Tahlilullah dalam perdagangan lada.

Dengan terbunuhnya Ventimiglia maka beribu-ribu umat Katholik di pedalaman suku Dayak Ngaju yang telah dibaptis, kembali kepada kepercayaan lama milik leluhur mereka. Yang tertinggal hanyalah tanda-tanda salib yang pernah dikenalkan oleh Ventimiglia kepada mereka. Namun tanda salib tersebut telah kehilangan arti yang sebenarnya. Tanda salib hanya menjadi benda fetis (jimat/rajah) yang berkhasiat magis sebagai penolak bala yang hingga saat ini terkenal dengan sebutan "lapak lampinak" dalam bahasa Dayak Ngaju atau "cacak burung" dalam bahasa Banjar. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat Dayak Ngaju yang membuat tanda silang / tanda salib (+) pada belakang pintu rumah atau pada daun sawang memakai kapur sirih untuk mengusir hal-hal yang bersifat jahat.

Sumber :
  • Musafir MSF. 2008. "Ventimiglia - Perintis Misi Borneo". (Online) https://msfmusafir.wordpress.com/2008/11/19/ventimiglia-perintis-misi-borneo/ (diakses Desember 2015)
  • Kalimantan Tengah. 2015. Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. Diakses pada 17:32, Desember 23, 2015, dari https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kalimantan_Tengah&oldid=10442799.


loading...
loading...
Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar Yang Anda Sukai

No comments