2016/04/20

Etimologi, Asal Mula dan Pengelompokan Suku Dayak

Dayak merupakan sebutan yang diberikan oleh masyarakat pesisir pulau Borneo kepada masyarakat pribumi yang menghuni pedalaman Pulau Borneo (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terbagi atas Kalimantan Barat, Tengah, Selatan, Timur dan Utara). Pada jaman dahulu kebudayaan orang-orang Dayak merupakan kebudayaan maritim atau bahari. Hal ini terlihat dari nama sebutan orang Dayak yang memiliki makna sebagai suatu hal yang terkait dengan perhuluan atau sungai, terlebih pada beberapa nama rumpun serta nama kekerabatannya.

Etimologi, Asal Mula dan Pengelompokan Suku Dayak


Etimologi


Istilah " Dayak " secara umum dipakai untuk menyebutkan penduduk pribumi non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di Pulau Borneo. Sebutan ini berlaku sejak jaman kolonial dan umumnya berlaku di belahan barat dan utara Pulau Borneo terutama di wilayah Malaysia, sedangkan di Indonesia terdapat suku-suku Dayak yang beragama Muslim namun tetap mengakui dirinya sebagai orang Dayak, contohnya suku Dayak Ngaju dan Dayak Bakumpai di Kalimantan Tengah.

Ada bermacam penjelasan mengenai etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak datang dari kata " daya " dari bahasa Kenyah, yang bermakna hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga kalau Dayak mungkin saja juga datang dari kata " aja ", suatu kata dari bahasa Melayu yang bermakna asli atau pribumi. Dia juga meyakini kalau kata itu mungkin saja datang dari satu istilah dari bahasa di daerah Jawa Tengah yang bermakna tingkah laku yang tidak sesuai atau yang tidak pada tempatnya.

Sebutan bagi suku masyarakat asli di dekat Sambas serta Pontianak adalah DAYA (Kanayatn : orang daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin digunakan istilah BIAJU (bi= dari ; aju= hulu). Jadi awal mulanya istilah orang Daya (orang darat) diperuntukkan bagi masyarakat asli Kalimantan Barat yaitu rumpun Bidayuh yang kemudian disebut Dayak Darat, sementara sebutan Dayak Laut digunakan untuk menyebut rumpun Iban.

Di Banjarmasin, arti Dayak mulai dipakai dalam perjanjian Sultan Banjar dengan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1826, untuk menggantikan sebutan Biaju Besar (wilayah sungai Kahayan) serta Biaju Kecil (wilayah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing kemudian berganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil, lalu oleh pihak kolonial Belanda hanya kedua wilayah tersebut yang kemudian secara administratif disebut sebagai Tanah Dayak. Mulai saat itulah sebutan Dayak juga diperuntukkan bagi rumpun Dayak Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya sebutan "Dayak" digunakan secara kolektif serta meluas yang mengacu kepada suku-suku masyarakat asli setempat yang berlainan bahasanya, terutama non-Muslim atau non-Melayu.

Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak digunakan dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang menggantikan kedaulatan suku-suku yang tinggal di beberapa daerah pedalaman Kalimantan. Menurut Departemen Pendidikan & Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas (1895) adalah seorang ilmuwan Belanda bernama Dr. August Kaderland.

Makna dari kata " Dayak " tersebut masih dapat diperdebatkan. Commans (1987), umpamanya, menulis bahwa menurut beberapa pengarang, "Dayak" bermakna manusia, sedangkan pengarang yang lain menyebutkan kalau penggunaan kata itu bermakna pedalaman. Commans mengemukakan bahwa makna yang paling tepat yaitu orang yang tinggal di hulu sungai.

Lahajir et al. melaporkan bahwa beberapa orang Iban memakai sebutan Dayak dengan makna manusia, sedangkan beberapa orang Tunjung serta Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyebutkan jika beberapa orang mengklaim bahwa sebutan Dayak merujuk kepada karakteristik personal spesifik yang diakui oleh masyarakat Kalimantan, yakni kuat, gagah, berani serta ulet. Lahajir et al. mencatat bahwa sedikitnya ada empat sebutan atau istilah bagi masyarakat asli Kalimantan dalam literatur, yakni Daya', Dyak, Daya, serta Dayak. Beragam istilah dan sebutan tersebut pada umumnya tidak semua masyarakat pribumi Borneo yang mengetahuinya, karena beberapa istilah tersebut datangnya dari luar, orang-orang luarlah yang menyebut mereka sebagai "Dayak".


Asal Mula


Pada umumnya rata-rata masyarakat kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia. Teori yang dominan adalah yang dikemukakan oleh ahli ilmu bahasa seperti Peter Bellwood dan Blust, yang mengatakan bahwa asal mula bahasa Austronesia adalah dari Taiwan. Lebih kurang 4.000 tahun yang lalu, sekumpulan orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Lebih kurang 500 tahun yang lalu, kemudian ada kelompok berikutnyayang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia serta ke timur menuju Pasifik.

Tetapi orang Austronesia ini bukanlah penghuni pertama pulau Borneo. Diperkirakan antara 60. 000 hingga 70. 000 tahun yang lalu, ketika permukaan laut 120 s/d 150 meter lebih rendah dari kondisi saat ini, serta kepulauan Indonesia masih berupa daratan (beberapa geolog menyebutkan daratan ini " Sunda "), sekelompok manusia pra-sejarah pernah bermigrasi dari daratan benua Asia menuju ke selatan dan tiba di daratan benua Australia yang konon pada saat itu jaraknya tidak terlampau jauh dari benua Asia. Perjalanan migrasi ini diperkirakan mengambil jalur yang melintasi wilayah yang sekarang disebut pulau Borneo, melintasi pegunungan menuju ke selatan.

Dari pegunungan tersebut sungai-sungai besar di pulau Borneo bermula. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka kemudian menyebar menyusuri sungai-sungai sampai ke hilir kemudian menempati pesisir pulau Borneo. Sebagaimana diceritakan dalam babad tanah borneo "Tetek Tatum" yang mengenai asal mula suku Dayak Ngaju yang mengisahkan proses migrasi suku Dayak Ngaju dari daerah hulu sungai menuju daerah hilir.


Pembagian Sub-sub Suku


Terdesak oleh arus migrasi yang kuat dari para pendatang dengan budaya barunya, masyarakat suku Dayak yang masih tetap mempertahankan adat dan tradisi budayanya pada akhirnya memilih masuk lebih jauh ke pedalaman. Hal ini mengakibatkan suku Dayak menjadi terpencar dan tercerai-berai yang kemudian melahirkan sub-sub suku tersendiri.

Hingga kini suku Dayak terdiri dari kelompok sub-sub suku yang jumlahnya lebih kurang sekitar 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub-suku Dayak ini umunya memiliki ciri khas adat istiadat serta budaya yang identik, adapun yang membedakan adalah lingkungan, sosiologi kemasyarakatan yang spesifik dan perbedaan bahasa.


Pembagian Rumpun Dayak


Menurut Stohr (1959), suku bangsa Dayak terbagi atas 6 rumpun besar, yaitu : APOKAYAN (Kenyah-Kayan-Bahau), OT DANUM (termasuk Ot Danum-Ngaju, Maanyan-Lawangan), IBAN, MURUT (termasuk Dusun-Murut-Kelabit), KLEMANTAN (termasuk Klemantan dan Dayak Darat) & PUNAN. Rumpun Dayak Punan adalah suku Dayak yang paling tua menempati pulau Borneo, sedangkan rumpun Dayak yang lain adalah rumpun hasil asimilasi Dayak Punan dengan kelompok Proto Melayu (leluhur suku Dayak yang datang dari Yunnan, Cina Selatan). Ke enam rumpun itu dibagi lagi dalam lebih kurang 405 sub-suku.

Walaupun terdiri dari beberapa ratus sub-suku, seluruh sub-suku Dayak mempunyai kemiripan tradisi budaya yang unik dan khas. Kemiripan itu merupakan aspek penentu bagaimana sehingga sub-suku tersebut masuk dalam kategori Dayak atau bukan. Kesamaan ciri khas berupa rumah panjang seperti Betang, Radakng, Lamin, Lou dan Lewu Hante, hasil budaya kerajinan tangan seperti ayaman dan tembikar, senjata khas seperti mandau, talawang (tameng), sipet (sumpit), hubungan erat dengan alam, mata pencaharian (sistim perladangan gilir-balik), serta seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju umumnya dimaksud lewu/lebu serta pada Dayak lain kerap disebut banua/benua/binua/benuo.

Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, menampik pendapat yang mengatakan bahwa Dayak datang dari satu suku asal. Menurut Lambut Dayak adalah sebutan kolektif dari beragam unsur etnik, yang secara " rasial " dapat dikelompokkan menjadi :
  • Dayak Mongoloid,
  • Malayunoid,
  • Autrolo-Melanosoid,
  • Dayak Heteronoid.

Akan tetapi di dunia ilmiah internasional, penggunaan istilah seperti "ras australoid", "ras mongoloid" ataupun "ras" pada umumnya tidak lagi dianggap bermakna dalam pengklasifikasian manusia lantaran kompleksnya aspek yang menyebabkan munculnya pengelompokan manusia.


Sumber :
loading...
loading...
Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar Yang Anda Sukai

No comments