Masyarakat Dayak Ngaju khususnya yang beragama Hindu Kaharingan sangat kaya dengan upacara-upacara keagamaan salah satunya adalah tata cara perkawinan pada masyarakat suku Dayak Ngaju yang disebut "Pelek Rujin Pangawin".
Semula, ritual upacara perkawinan merupakan salah satu ritual keagamaan masyarakat Hindu Kaharingan sekaligus dianggap adat yang mencirikan keberadaan suku Dayak Ngaju sebagai suatu kelompok masyarakat adat. Seiring perkembangan jaman walaupun sebagian masyarakat suku Dayak Ngaju telah meninggalkan agama leluhur, namun sebagai suku yang memegang teguh konsep "Belum Bahadat" ritual perkawinan ini kemudian diekstrak dan diambil esensinya yaitu "Jalan Hadat" yang kemudian dalam prosesi perkawinan masyarakat suku Dayak Ngaju yang beragama Kristen dikenal dengan istilah "Pemenuhan Hukum Adat".
Pelek Rujin Pangawin Suku Dayak Ngaju
Pelek Rujin Pangawin adalah tata cara dan persyaratan yang ditempuh dalam beberapa kegiatan ritual perkawinan baik sebelum pelaksanaannya maupun disaat perkawinan itu dilaksanakan serta awal mulainya kehidupan berumah tangga termasuk didalamnya adanya Jalan Hadat yang harus dipenuhi oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dan keluarganya. Hak, kewajiban dan tanggung jawab perkawinan termuat dalam Pelek Rujin Pangawin yang artinya Pedoman Dasar Perkawinan. (Nila Riwut, 2003:224).
Jalan Hadat perkawinan atau yang lazimnya dikenal oleh masyarakat umum sebagai Jujuran atau mas kawin adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang laki-laki bagi calon mempelai perempuan dan keluarganya pada upacara perkawinan yang berdasarkan ketentuan hukum Adat Dayak Ngaju yang berlaku serta tradisi dalam keluarga mempelai perempuan. Tentang asal mula adanya Jalan Hadat perkawinan ini dapat diketahui dalam Panaturan (Kitab suci agama Hindu Kaharingan) yang menyatakan sebagai berikut :
Pelek Rujin Pangawin ije manjadi suntu awi RANYING HATALLA hajamban Raja Uju Hakanduang intu lewu Bukit Batu Nindan Tarung, akan uluh kalunen panakan Maharaja Bunu dapit jeha, tuntang jetuh kea ije manjadi tampara bukun uluh bawi tege Palaku tuntang Jalan Hadat. (Panaturan,30.33)
Artinya :
Pelek Rujin Pangawin ini yang menjadi contoh dari RANYING HATALLA, melalui Raja Uju Hakanduang di Lewu Bukit Nindan Tarung untuk manusia turunan raja Bunu dan inilah yang menjadi awal perempuan ada Jalan Adat atau mas kawinnya.(Tim Penyusun, 2003;115)
Penerapan Jalan Hadat dalam upacara perkawinan masyarakat Dayak Ngaju, sesungguhnya yang menjadi intinya adalah bagaimana sebuah komunikasi yang akan terjalin antara keluarga luas dari pihak-pihak yang bersangkutan serta merupakan refleksi etika hidup masyarakat Dayak khususnya seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dan keluarganya. Penerapan Jalan Hadat ini bermuara dalam upaya mempertahankan hubungan sosial kemasyarakatan agar tetap berjalan dalam keadaan serasi, selaras dan seimbang, terutama hubungan sosial dengan anggota keluarga yang tercakup dalam temali kekerabatan darah dan temali kekerabatan perkawinan.
Latar belakang munculnya Jalan Hadat yaitu berpedoman pada pada "Pelek Indu Sangumang" (Raja Garing Hatungku dan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang), yang mana diriwayatkan bahwa Tuhan semesta alam (Ranying Hatalla) sebelum menurunkan manusia ke muka bumi, di alam atas telah terjadi perkawinan antara Nyai Endas Bulau Lisan Tingang (Indu Sangumang) dengan Raja Garing Hatungku.
Namun setelah menikah, Nyai Endas Bulau Lisan Tingang tidak mau berkumpul dengan suaminya sebab dia merasa kurang persyaratan perkawinannya. Raja Garing Hatungku bertanya apakah yang kurang, kemudian Nyai Endas Bulau Lisan Tingang meminta Palaku (mas kawin) atau Jalan Hadat sebagai bukti bahwa dia sudah kawin dan sebagai modal hidup yang dapat diperlihatkan kepada anak cucunya. Nyai Endas Bulau Lisan Tingang meminta Palaku (mas kawin) berupa :
- Bukit lampayung Nyahu (Sandung/tempat tulang). Pada saat upacara Tiwah yaitu upacara kematian tingkat terakhir untuk mengantarkan roh umat Hindu Kaharingan yang meninggal ke alam keabadian/Lewu Tatau, maka tulang belulang almarhum yang ditiwahkan akan disimpan dalam sebuah tempat berbentuk rumah yang lazim disebut dengan Sandung oleh masyarakat Dayak.
- Banama Bulau Pahalendang Tanjung Anjung Rabia Pahalingei Lunuk merupakan istilah dalam bahasa Sangiang yang berarti sebuah peti mati, yang merupakan simbol kesetiaan sehidup semati antara suami istri. Jadi maksud dari permintaan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang yang terdapat dalam simbol peti mati ini adalah dia menginginkan sebuah kesetiaan sehidup semati dalam membangun rumah tangga.
- Bukit Tampung Karuhei adalah sebuah tempat kumpulan rejeki dan kekayaan. Bukit Tampung Karuhei ini menyimbolkan bahwa dalam membentuk sebuah rumah tangga tidak hanya bermodalkan cinta namun juga didukung oleh pemenuhan materi.
Setelah syarat Palaku yang diminta oleh Nyai Endas Bulau Lisan Tingang terpenuhi barulah Nyai Endas mau berkumpul dengan suaminya. Tata cara perkawinan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang dan Raja Garing Hatungku merupakan asal mula ritus perkawinan yang dilaksanakan oleh suku Dayak Ngaju dan juga yang menjadi awal adanya Palaku atau Jalan Hadat bagi perempuan.
Tahapan Prosesi Perkawinan Suku Dayak Ngaju
Ditinjau dari pelaksanaannya, prosesi perkawinan di kalangan masyarakat suku Dayak Ngaju dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu :
1. Hakumbang Auh
Hakumbang Auh adalah cara awal dari prosesi perkawinan dengan maksud penyampaian niat seorang pria kepada seorang gadis yang diinginkan menjadi isterinya. Dalam kebiasaan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju, jika seorang pemuda berkehendak mengambil seorang gadis untuk dijadikan sebagai isterinya maka dia akan menyampaikan maksudnya terlebih dahulu kepada orang tuanya. Apabila disetujui maka selanjutnya orang tuanya akan memilih seseorang sebagai perantara yang bertugas menghubungi keluarga si gadis. Perantara ini disebut Uluh Helat atau biasa juga disebut Saruhan atau juga dapat disebut Tatean Tupai. Maksud hati dan keinginannya disampaikan kepada keluarga si gadis melalui perantara tersebut.
Sebagai bukti kesungguhan hati dan niat baiknya, maka pihak pria melalui Uluh Helat menyampaikan mangkok berisi beras dan telor ayam yang dibungkus dengan kain kuning atau sejumlah uang sebagai Duit Pangumbang. Diterima atau tidaknya keinginan tersebut tidaklah diberitahukan oleh orang tua si gadis pada saat itu juga. Jadi pihak pemuda harus menunggu beberapa waktu dan kabar dari pihak si gadis akan disampaikan melalui perantara tadi setelah pihak keluarga si gadis berunding. Maksud pemuda tersebut akan dibicarakan dalam rapat keluarga dan sebagai buktinya diperlihatkan mangkok atau Duit Pangumbang yang mereka terima dari keluarga si pemuda. Dalam rapat keluarga ini ayah dan ibu si gadis meminta pendapat keluarga (paman, bibi, kakek, nenek dan saudara).
Dalam rapat inilah dibicarakan hal-hal penting mengenai :
- Setuju atau tidak pihak keluarga si gadis apabila si gadis kawin dengan si pemuda tersebut. Untuk menentukan diterima atau tidaknya maksud si pemuda maka pihak keluarga si gadis akan membahas mengenai : bagaimana bibit, bebet, bobot si pemuda dan bagimana silsilah keturunan si pemuda, apakah ada keterikatan dengan keluarga si gadis.
- Waktu pertemuan antara keluarga si gadis dengan pihak pemuda apabila pihak keluarga si gadis menerima maksud baik pihak keluarga si pemuda.
- Apabila maksud baik dari pihak keluarga si pemuda ditolak, perantara akan dipanggil untuk memberitahukan mengenai keputusan mereka dan alasan penolakan tersebut. Keputusan tersebut tentunya disampaikan secara bijaksana agar tidak menyinggung perasaan pihak keluarga si pemuda. Barang yang sudah diterima sebagai bukti Hakumbang Auh berupa mangkok berisi beras dan telor ayam ataupun berupa uang akan dikembalikan kepada pihak keluarga si pemuda melalui perantaranya.
- Apabila maksud baik si pemuda diterima, maka perantaranya diberitahu bahwa pihak keluarga si gadis akan menerima dengan senang hati kedatangan pihak keluarga si pemuda untuk Mamanggul. Mengenai kapan pihak keluarga si pemuda akan datang Mamanggul akan disampaikan oleh pihak keluarga si pemuda melalui perantaranya pula.
2. Mamanggul
Tahap ini merupakan kelanjutan dari Hakumbang Auh yaitu cara meminta si gadis secara resmi setelah pihak keluarga si pria mengetahui bahwa keinginan hati mereka diterima oleh pihak si gadis. Pada acara ini pihak pria akan menyerahkan beberapa barang sebagai bukti kesungguhan hati dan keseriusan mereka. Antara lain berupa sebuah Balanga (guci asli cina) atau sebuah gong.
Pada acara ini kedua pihak membicarakan waktu pelaksanaan peminangan, yaitu Maja Misek. Dalam perkembangannya yang berlaku sekarang, bukti Mamanggul tidak lagi berupa gong melainkan berupa Duit Panggul. Pada kesempatan ini dibuat sebuah kesepakatan. Kesepakatan ini dapat berupa lisan maupun tertulis yang dibuat dalam bentuk sebuah surat perjanjian yang disebut surat Panggul. Jika pihak keluarga si gadis kemudian menolak maka barang bukti mamanggul tidak dikembalikan kepada pihak si pemuda.
Dalam perkembangannya, tahapan Hakumbang Auh dianggap sama dengan Mamanggul. Karena itu rangkaian tata cara perkawinan yang lazim sekarang ini cenderung mulai dari Hakumbang Auh lalu Maja Misek dan seterusnya. Istilah Hakumbang Auh lebih sering digunakan, sedangkan istilah Mamanggul mulai menghilang.
3. Maja Misek
Maja berarti bertamu atau bertandang. Misek berarti bertanya, istilah Maja Misek disini maksudnya adalah acara pertemuan antara keluarga si pemuda dengan keluarga si gadis. Dalam pertemuan itu mereka mengambil kesepakatan bersama tentang :
- Waktu atau jadwal pelaksanaan pesta perkawinan
- Syarat-syarat perkawinan yang disebut Jalan Hadat, yaitu apa saja yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik menurut Panaturan, hukum adat serta tradisi yang berlaku dalam keluarga si gadis.
- Besarnya Palaku yaitu mas kawin yang harus diserahkan
- Biaya pesta perkawinan dan bagaimana pembagiannya, apakah ditanggung seluruhnya oleh pihak laki-laki ataupun ditanggung bersama.
- Sanksi atau denda yang dikenakan jika terjadi pembatalan atau penundaan oleh salah satu pihak.
- Kesepakatan mereka merupakan perjanjian yang kemudian dituangkan dalam surat perjanjian Pisek.
Selain membicarakan hal tersebut, pada kesempatan Maja Misek ini juga dibicarakan mengenai syarat-syarat menurut adat untuk kasus :
- Jika calon mempelai perempuan masih mempunyai kakak perempuan yang belum menikah, maka ia harus membayar Palangkah atau Panangkalau kepada kakaknya karena ia mendahului kakaknya.
- Jika si gadis masih mempunyai hubungan keluarga yang disebut Jereh dalam garis kekeluargaan yang sudah jauh, misalnya masih terkena keponakan dari si pemuda maka mereka harus membayar denda dan melaksanakan upacara Tambalik Jela sebelum upacara perkawinan dilaksanakan.
Setelah tercapai kata sepakat, pihak laki-laki menyerahkan Paramun Pisek (persayatan adat dalam melamar), yaitu benda-benda yang harus diberikan kepada pihak perempuan berdasarkan ketentuan hukum adat. Persyaratan adat ini biasanya berupa perlengkapan pakaian perempuan, alat-alat kosmetik, sepatu, sendal, dan lainnya.
4. Mananggar Janji atau Mukut Rapin Tuak
Mananggar Janji berarti memastikan janji, yaitu kedua belah pihak bertemu lagi secara khusus untuk memastikan kapan waktu pelaksanaan perkawinan. Jika pada saat Maja Misek telah ditentukan perkiraan bulannya saja, maka pada saat mananggar janji ini dibicarakan tanggal perkawinannya. Pada kesempatan ini pihak calon pengantin pria menyerahkan biaya perkawinan, antara lain :
- Biaya membuat minuman tuak (Rapin Tuak)
- Biaya pesta yang disebut Bulau Ngandung atau Panginan Jandau
- Jangkut Amak atau perlengkapan tidur dan isi kamar tidur.
Dalam menetukan hari atau tanggal perkawinan, ada beberapa hal yang harus diperhitungkan dengan cermat agar mendapat hari dan bulan yang baik dan sedapat mungkin menghindari adalah keadaan bulan seperti :
- Bulan Lembut. Lembut artinya keluar atau timbul. Bulan lembut berarti pada saat permulaan bulan terbit atau bulan baru muncul.
- Bulan Tapas, yaitu bulan menjelang purnama penuh
- Bulan Mahutus, yaitu saat-saat pergantian bulan
- Bulan Kakah, yaitu seminggu setelah purnama (Tim Penyusun. 1998)
Setelah diserahkannya biaya perkawinan, maka pihak calon mempelai wanita dapat melakukan persiapan perkawinan, demikian juga halnya dengan pihak mempelai pria.
5. Pelaksanaan Perkawinan
Pelaksanaan perkawinan yang dimaksud disini adalah upacara-upacara yang dilaksanakan sejak dari rumah penganten pria sampai dengan peresmian perkawinan mereka di rumah penganten wanita. Berikut adalah tahapan pelaksanaan perkawinan adat suku Dayak Ngaju :
a. Panganten Haguet
Panganten Haguet adalah acara penganten pria saat berangkat menuju rumah penganten wanita sesuai dengan kesepakatan mengenai pelaksanaan perkawinan maka pada hari yang telah ditetapkan, biasanya tiga hari setelah upacara Manyaki Rambat, ataupun juga pelaksanaan upacara Manyaki Rambat ini bisa juga dilaksanakan sebelum keberangkatan penganten laki-laki ke tempat penganten perempuan.
Pada saat sebelum keberangkatan para kerabat berkumpul di rumah penganten pria. Tujuannya untuk bersama-sama mengantarkan penganten pria ke rumah penganten wanita. Sebelum berangkat terlebih dahulu diadakan acara syukuran. Waktu keberangkatan yang paling baik menurut keyakinan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju adalah pagi hari atau sebelum jam dua belas siang.
b. Penganten Mandai
Istilah Mandai sama dengan Manyakei yang artinya naik. Arti penganten Mandai atau penganten Manyakei disini adalah kedatangan penganten pria di rumah penganten wanita. Ketika penganten pria dan rombongannya tiba, beberapa kegiatan yang dilakukan adalah :
1). Mambuka Lawang Sakepeng
Lawang Sakepeng adalah semacam pintu gerbang atau gapura dari pelepah daun kelapa yang diberi rintangan benang. Pada rintangan benang penghalang dipasang bunga warna warni agar indah dan nampak semarak. Penganten pria dan rombongannya tidak boleh masuk ke halaman rumah sebelum membuka Lawang Sakepeng tersebut.
Caranya adalah dengan memutuskan benang-benang perintang oleh pesilat-pesilat yang dipilih mewakili masing-masing pihak dengan diiringi tabuhan gendang dan gong. Ditampilkannya pesilat dari keduabelah pihak mengandung makna bahwa dalam kehidupan rumah tangganya, kedua mempelai akan bersama-sama mengatasi persoalan yang datang sehingga dapat hidup rukun, saling membantu dan bekerjasama.
Adapun makna dari upacara mambuka Lawang Sakepeng ini adalah untuk menjauhkan semua rintangan dan malapetaka yang dapat menimpa kedua mempelai dalam membina rumah tangga.
2) Mamapas
Mamapas adalah upacara pembersihan secara simbolis bermakna agar penganten, rumah dan lingkungan tempat dilaksanakannya upacara perkawinan dapat bersih dari segala yang tidak baik dan terhindar dari hal-hal yang buruk yang ditimbulkan oleh roh-roh jahat yang disebut Pali Endus Dahiang Baya.
Bersamaan dengan upacara Mamapas ini, setelah tali perintang Lawang Sakepeng putus maka penganten pria dan rombongannya dipersilahkan memasuki halaman. Di depan pintu rumah mempelai pria akan diupacarai lagi dengan taburan beras dan bunga rampai serta prosesi penginjakan telor ayam.
Selanjutnya mempelai laki-laki dan rombongan dipersilahkan masuk rumah. Bagi mereka disediakan tempat khusus untuk beristirahat sambil menunggu acara selanjutnya.
c. Haluang Hapelek
Upacara Haluang Hapelek adalah semacam diaolog antara para wakil dari pihak penganten pria dan wanita. Tujuan utama dari acara ini adalah menagih Jalan Hadat, yaitu syarat-syarat dalam rangka perkawinan yang harus diserahkan oleh pihak penganten pria kepada penganten wanita. Masing-masing pihak membentuk kelompok tersendiri, sebagai utusan yang bertindak sebagai Luang. Masing-masing pihak dapat menunjuk 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang wakil sebagai utusan.
Luang atau utusan dari pihak penganten pria disebut dengan Tukang Sambut, yaitu pihak yang menjawab sanggup tidaknya memenuhi tuntutan pihak penganten wanita. Adapun luang dari pihak wanita disebut Tukang Pelek, yaitu pihak yang mengajukan tuntutan. Luang adalah orang yang pekerjaannya mondar-mandir menghubungi dua pihak untuk mencari kesesuaian pendapat.
d. Manyaki Panganten (Panganten Hasaki atau Panganten Hatatai)
Inti upacara ini adalah upacara pengukuhan perkawinan bagi masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju. Pada bagian inilah yang biasanya tidak dilaksanakan oleh masyarakat Dayak suku Dayak Ngaju yang non Hindu Kaharingan, namun masih melangsungan tata cara perkawinan sesuai tradisi leluhurnya. Upacara ini dipimpin oleh seorang Basir. Manyaki berarti mengoleskan darah hewan korban ke beberapa bagian tubuh kedua mempelai oleh Basir. Adapun istilah Penganten Hasaki berarti kedua mempelai dipoles dengan darah.
Pada acara ini kedua mempelai duduk di atas sebuah gong sambil memegang sebatang pohon sawang (Ponjon Andong) yang diikat bersamaan dengan Dereh Uwei (sepotong rotan) dan Rabayang (tombak bersayap/sejenis tri sula). Jari telunjuk mereka menunjuk ke atas sebagai tanda bahwa mereka berdua bersaksi kepada Ranying Hatalla Langit/Tuhan Yang Maha Esa. Kaki mereka menginjak jala dan batu asah sebagai tanda bahwa mereka berdua juga bersaksi kepada penguasa alam bawah.
Basir melakukan upacara manyaki mamalas dengan mengoleskan darah hewan korban, minyak kelapa, tanah, air dan beras serta tampung tawar. Behas (beras) Hambaruan diletakkan di atas ubun-ubun kedua mempelai. Upacara itu bermakna bahwa kedua mempelai disucikan, sehingga dalam menjalani kehidupan berumah tangga mereka senantiasa sehat, selamat dan memperoleh rejeki.
Setelah menjalani upacara Hasaki, kedua mempelai makan makanan yang disebut Panginan Putir Santang, yaitu tujuh gumpal nasi sebagai simbol penyatuan mereka bahwa mereka sejak hari itu resmi sebagai suami isteri. Setelah selesai acara makan secara simbolis, kedua mempelai lalu berjalan menuju ambang pintu rumah untuk melakukan Manukiw (pekikan) sebanyak tujuh kali di ambang pintu. Maksud pekikan itu adalah untuk membuka pintu langit dan mereka berdua berikrar dihadapan Tuhan bahwa mereka akan memelihara perkawinan itu untuk selama-lamanya sampai akhir hayat.
Usai acara kedua ini kedua mempelai bersama-sama membacakan surat perjanjian kawin yang isinya memuat syarat-syarat adat yang diserahkan yakni Jalan Hadat, sangsi-sangsi dan janji kedua mempelai dalam memelihara perkawinan dan memuat pula peneguhan para saksi dan ahli waris. Surat itu kemudian ditandatangani oleh kedua mempelai, saksi, ahli waris dan disaksikan oleh hadirin.
Dengan selesainya penandatanganan surat perjanjian kawin maka selesai pulalah rangkaian acara Manyaki Panganten. Kemudian dilanjutkan dengan acara penanaman pohon Sawang. Acara selanjutnya adalah jamuan makan bagi para hadirin. Selain itu kedua mempelai (biasa diberi ruang khusus) diberikan nasehat oleh para orang tua termasuk para Luang, yang mana acara ini disebut dengan upacara Maningak Panganten.
Jalan Hadat Perkawinan Suku Dayak Ngaju
Jalan Hadat dalam perkawinan pada masyarakat suku Dayak Ngaju tidak terlepas dari upaya untuk menjaga kelestarian sikap moral. Gagasan ideal upacara perkawinan yang telah diwariskan sejak dulu oleh leluhur masyarakat Dayak Ngaju dapat disebut sebagai gagasan primer dalam rangka membangun manusia, sebagai penunjang lambang pokok Batang Garing (pohon kehidupan) dan Dandang Tingang (bulu ekor burung enggang) yang menyimbolkan ketiga alam dalam kehidupan manusia) serta sebagai tuntunan dan bimbingan moral dalam rangka pembangunan diri manusia itu sendiri secara utuh.
Karena itulah terdapat syarat adat yang saling terjalin dan melalui beberapa proses, dimana salah satu syarat adat tersebut yaitu adanya Jalan Hadat dalam upacara perkawinan pada masyarakat suku Dayak Ngaju yang berbentuk benda-benda simbolis yang memiliki nilai-nilai penting bagi masyarakat Dayak itu sendiri.
Penentuan bentuk dan jumlah Jalan Hadat yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki dalam tahapan upacara perkawinan pada masyarakat suku Dayak Ngaju biasanya dilakukan pada saat proses Maja Misek. Pada saat Maja Misek inilah kemudian terjadi musyawarah mufakat antara kedua belah pihak untuk membahas mengenai Jalan Hadat yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki. Setelah musyawarah mufakat tentang Jalan Hadat dan penentuan waktu pelaksanaan upacara perkawinan ini selesai, maka akan dibuat Surat Perjanjian Panggul (peminangan) yang berisi tentang ketentuan bentuk dan jumlah Jalan Hadat yang harus disediakan oleh pihak laki-laki, waktu pelaksanaan upacara perkawinan dan ketentuan denda apabila salah satu pihak menunda atau bahkan membatalkan peminangan.
Jalan Hadat tersebut yang akan diserahkan pada saat acara perkawinan. Adapun Syarat-syarat adat perkawinan Hindu Kaharingan di kalangan masyarakat Dayak Ngaju yang lazim dikenal dengan Jalan Hadat secara umum adalah terdiri atas :
Palaku, adalah mas kawin yang diwujudkan dalam sejumlah materi simbolis, dimana pada jaman dahulu adalah berbentuk sebuah Balanga atau Guci Cina yang memiliki nilai tinggi atau benda pusaka keluarga maupun dapat berbentuk sebuah gong, namun pada saat sekarang dapat digantikan dengan sebidang tanah atau barang berharga lainnya. Palaku ini fungsinya adalah sebagai jaminan hidup bagi mempelai perempuan dari mempelai laki-laki, dimana nantinya Palaku ini merupakan hak wanita sepenuhnya dan akan diwariskan kepada anak-anak mereka.Palaku ini mutlak harus ada dan merupakan syarat perkawinan yang utama dan pertama. Palaku merupakan hak ikat oleh pengantin laki-laki terhadap pengantin perempuan dihadapan keluarga, bahwa ia memperoleh wanita tersebut dan akan dijadikan pasangan hidupnya dalam berbagi rasa. Palaku ini tidak boleh dipindah tangankan ataupun dijual karena merupakan dasar hidup bagi kedua mempelai dalam membangun rumah tangga atau sering disebut juga dengan Galang Pambelum dalam bahasa Dayak Ngaju.
Saput, adalah suatu materi simbolis yang ditujukan kepada saudara kandung laki-laki mempelai perempuan atau saudara sepupunya jika tidak memiliki saudara kandung laki-laki, yang berbentuk kain atau pakaian. Fungsi Saput ini adalah ungkapan terima kasih mempelai laki-laki terhadap saudara laki-laki mempelai wanita yang telah menjaga mempelai wanita sebelum mempelai wanita tersebut memasuki jenjang perkawinan. Makna dari Saput itu sendiri adalah sebagai wujud penghargaan calon pengantin laki-laki terhadap calon ipar laki-lakinya yang telah rela melepas saudara perempuannya dan atas pengorbanan mereka melindungi mempelai perempuan pada saat dia belum menikah. Selain itu dengan adanya pemberian Saput ini merupakan pertanda bahwa seorang laki-laki yang ingin mengambil seorang perempuan sebagai istrinya tidak hanya mengambil perempuan tersebut saja tetapi dia juga mengambil saudara-saudara dari perempuan yang akan dia jadikan istri tersebut sebagai keluarga yang patut dihormati dan dicintai layaknya dia mencintai saudaranya sendiri.
Pakaian Sinde Mendeng, adalah berupa sepotong pakaian atau kain baju yang diberikan oleh mempelai pria kepada ayah dan ibu mempelai wanita. Dimana pakaian Sinde Mendeng ini berfungsi sebagai permohonan ijin mempelai laki-laki untuk memperistri putrinya. Pakaian Sinde Mendeng merupakan perlambang bahwa mempelai laki-laki tidak hanya mengambil mempelai wanita menjadi istrinya tetapi juga menerima orang tua dari isterinya dengan baik dan menghormati serta menyayangi mereka seperti menyayangi orang tua kandungnya sendiri. Selain itu Pakaian Sinde Mendeng ini juga merupakan wujud simbolik untuk mengganti pakaian orang tua pengantin perempuan selama mereka merawat pengantin perempuan.
Sinjang Entang. Sinjang adalah materi simbolis berupa satu lembar kain panjang yang disebut Bahalai yang diberikan kepada ibu mempelai wanita.Sinjang berfungsi simbolis sebagai pengganti pakaian ibu perempuan saat melahirkan anaknya tersebut dahulu. Sedangkan Entang juga merupakan sebuah materi simbolis berbentuk satu lembar kain panjang yang disebutBahalai yang diberikan kepada ibu mempelai wanita yang berfungsi sebagai pengganti alat untuk menggendong mempelai wanita pada saat masih bayi, selain itu juga sebagai simbol agar kedua mempelai memiliki rasa saling cinta kasih terhadap kehidupan baru yang mereka bangun layaknya seorang ibu yang menyayangi anaknya, seperti itu juga diharapkan kedua mempelai ini nantinya membangun keluarga rumah tangga sampai Hentang Tulang (sampai maut memisahkan) tidak bisa terpisah.
Lapik Luang, adalah materi simbolis berupa satu lembar kain panjang ataupun tikar dari rotan. Lapik Luangberfungsi sebagai alas Sangku Pelek. Selain itu juga terdapat Mangkok Luang (mangkok putih yang berisi beras) yang nantinya akan diberikan kepada paraMantir Luang dan Mantir Pelek (perantara) yang bertugas dalam acara Haluang Hapelek sebagai wujud atau ungkapan terima kasih yang punya acara atas jasa para Luang (perantara). Lapik Luang ini bermakna penghormatan terhadap prosesi Haluang Hapelek dan menunjukkan bahwa kita percaya Haluang Hapelek merupakan prosesi yang bersifat sakral.
Tutup Uwan, diwujudkan dalam materi simbolis berupa kain hitam sepanjang dua yard yang diberikan kepada nenek mempelai perempuan. Secara ritualTutup Uwan tersebut berfungsi sebagai penutup kehidupan kedua mempelai dari segala bahaya yang selalu mengganggu kehidupan manusia. Tutup Uwan bermakna untuk melindungi kedua mempelai pada saat melewati daerah Pukung Pahewan (daerah yang ada penunggunya), menghindarkan kedua mempelai dari Sial, Pali Dahiyang Baya (sial, pantangan dan pertanda buruk) yang dapat menggangu kedua mempelai dalam membangun rumah tangganya. Jadi Tutup Uwan ini secara formalitas adalah untuk nenek calon mempelai perempuan agar nenek ini memberikan perlindungan selaku orang tua dan Tutup Uwan ini adalah untuk menutup atau melindungi kedua mempelai dari Sial, Pali Dahiyang Baya (sial, pantangan dan pertanda buruk) yang dapat masuk melalui ubun-ubun.
Duit Lapik Ruji, adalah materi simbolis berupa uang logam perak Belanda senilai satu ringgit/golden. Duit Lapik Ruji ini sebagai alas atau dasar celengan kedua mempelai. Duit Lapik Ruji ini berfungsi sebagai penarik datangnya rejeki selama mereka hidup sebagai sepasang suami istri. Duit Lapik Ruji ini merupakan simbol harapan agar dalam kehidupan rumah tangga kedua mempelai nafkahnya selalu terpenuhi dan banyak rejeki. Kata Lapik Ruji berasal dari kata Lapik yang berarti alas atau dasar, dan Ruji dari kata Loji yaitu bangunan yang kokoh. Sehingga yang dimaksud dengan adanya Duit Lapik Ruji maka rumah tangga kedua mempelai memiliki dasar yang kuat dan kokoh.
Bulau Singah Pelek, adalah materi simbolis berupa emas bubuk minimal satu keping (2,7 gram) atau bisa juga dalam bentuk cincin kawin. Bulau Singah Pelek sebagai pertanda bahwa kedua mempelai telah terikat dalam hubungan berumahtangga membentuk keluarga yang baru terpisah dari keluarga yang lama. Makna adanya syarat ini sebagai Jalan Adat dalam upacara perkawinan pada masyarakat Hindu Kaharingan adalah agar rumahtangga itu tidak tersesat, artinya dapat berjalan dengan baik, bahagia dan sejahtera. Selain itu juga melambangkan kemurnian cinta kasih suami istri seperti emas yang tidak pernah luntur, begitu pula cinta kasih mereka dalam membina kehidupan berumah tangga. Dengan adanya Bulau Singah Pelek diharapkan kedua mempelai selalu ingat bahwa mereka telah terikat dalam sebuah ikatan perkawinan yang harus mereka jaga keutuhan dan keharmonisannya sampai maut yang memisahkan atau "Nyamah Hentang Tulang Ije Sandung Mentang".
Duit Turus (Timbuk Tangga), adalah materi simbolis berupa uang logam recehan (biasanya logam seratus perak) yang jumlahnya ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama kedua belah pihak dengan jumlah seimbang yang harus disediakan oleh masing-masing pihak. Duit Turus ini akan dibagikan pada saat upacara perkawinan kepada para undangan yang hadir. Duit Turus yang sebenarnya hanya dibagikan kepada para orang tua yang hadir dalam upacara perkawinan tersebut, bukan diberikan kepada seluruh tamu yang hadir dalam artian anak kecil atau yang masih muda. Hal ini dikarenakan Duit Turus itu berfungsi sebagai tanda atau saksi bahwa telah berlangsung sebuah perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, sehingga apabila masyarakat menjumpai kedua orang ini berduaan tidak akan menjadi gunjingan atau masalah bagi masyarakat, selain itu jika dikemudian hari terjadi masalah dalam kehidupan kedua mempelai maka orang-orang yang telah menerima duit turus tersebut yang akan menjadi saksi. Maksud adanya Duit Turus ini adalah sebagai tanda bahwa mereka yang menerima uang itu telah menyaksikan ikatan perjanjian perkawinan kedua mempelai. Selain itu Duit Turus juga merupakan simbol permohonan doa restu kedua mempelai kepada orang-orang yang menghadiri upacara perkawinan mereka.
Garantung Kuluk Pelek, adalah materi simbolis berupa sebuah gong. simbol bukti ikatan perkawinan dengan maksud agar kedua mempelai senantiasa ingat dan menyadari akan arti perkawinan itu serta ingat akan janji yang telah mereka ikrarkan. Garantung Kuluk Pelek juga menyimbolkan kewibawaan seorang suami, dimana kewibawaan inilah yang diharapkan oleh seorang wanita dari seorang suami dalam membina kehidupan berumahtangga. Makna lain dari gong adalah sebagai meluruskan jalan kehidupan bagi kedua mempelai bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membangun rumah tangga yang bahagia.
Lamiang Turus Pelek, adalah materi simbolis berupa sepucuk Lamiang (manik batu agate), dimana syarat ini tidak dapat digantikan dengan barang lain. Lamiang Turus Pelek ini merupakan saksi janji mempelai berdua kepada semua sanak keluarga dan semua ahli waris tentang tulusnya cinta mereka berdua untuk membangun rumah tangga. Lamiang Turus Pelek merupakan tonggak pertama pada saat orang melaksanakan Pelek perkawinan. Lamiang Turus Pelek ini merupakan suatu tanda perjanjian kedua mempelai yang secara sadar bahwa mereka akan membina rumah tangga mereka ibarat Turusnya berupa Lamiang yang ada dengan hati jernih, saling mencintai, mengerti satu sama lain, saling bantu membantu dalam masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan berumah tangga.
Pinggan Pananan Pahanjean Kuman, adalah materi simbolis berupa seperangkat peralatan makan bagi kedua mempelai. Pinggan Pananan Pahanjean Kuman ini merupakan simbol untung ukur tuah hambit (rejeki) kedua mempelai yang bersama-sama dalam membangun rumah tangga dengan satu rasa, satu hati dan tanggung jawab bersama dalam menjalani pahit manis kehidupan secara bersama-sama.
Jangkut Amak, adalah materi simbolis berupa peralatan tidur kedua mempelai. Jangkut Amak ini melambangkan seorang pria untuk memasuki kehidupan berumah tangga.
Rapin Tuak, adalah materi simbolis berupa minuman tuak dengan jumlah seperlunya yang akan digunakan pada saat acara Haluang Hapelek. Rapin Tua kini merupakan simbol luapan kegembiraan atas perkawinan yang akan berlangsung sehingga dibagikan kepada para undangan yang hadir pada saat Haluang Hapelek namun hanya dalam jumlah yang terbatas.
Bulau Ngandung, merupakan biaya pesta perkawinan yang berfungsi untuk menyiapkan jamuan bagi para kerabat dan tamu undangan yang datang memberikan doa restu atas perkawinan. Bulau Ngandung ini merupakan ungkapan terima kasih atas doa restu semua sahabat, sanak keluarga kedua belah pihak dan para undangan serta sebagai ungkapan syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas anugerahnya sehingga perkawinan tersebut dapat berlangsung.
Batu Kaja, adalah materi simbolis berupa benda adat seperti gong atau bisa juga emas murni yang beratnya ditentukan berdasarkan kesepakatan ataupun berupa barang berharga lainnya. Batu Kaja ini dibayar pada saat upacara Pakaja Manantu. Batu Kaja ini bukan dari mempelai laki-laki melainkan dari orang tua mempelai laki-lakinya. Batu kaja merupakan ungkapan rasa bahagia dan wujud cinta kasih orang tua mempelai laki-laki terhadap menantunya yang bersedia menerima anaknya sebagi seorang suami dan bersedia merawat serta sampai mengasuh cucu-cucu mereka nantinya.
Seperti itulah ke-16 (enam belas) butir Jalan Hadat dalam upacara perkawinan pada masyarakat suku Dayak Ngaju yang harus diwujudkan dengan nyata, dapat didengar, dilihat dan dirasakan sebagai benda simbolis sikap moral. Dimana sebenarnya bukan jumlah satuan materinya yang menjadi sasaran penting melainkan yang lebih utama adalah nilai etika tingkah laku manusianya yang diharapkan tercipta dari penerapan Jalan Hadat tersebut. Karena pada dasarnya materi simbolis berupa Jalan Hadat ini merupakan bentuk sikap moral kesopanan seorang laki-laki terhadap perempuan dan keluarganya.
Sebuah perkawinan yang ideal menurut Pelek Rujin Pangawin (Pedoman dasar perkawinan) Indu Sangumang dan ketentuan-ketentuan yang disebut dengan ketentuan adat kawin. Ketentuan-ketentuan yang dimaksud adalah :
- Orang kawin harus sesuai garis keturunannya
- Dalam perkawinan Dayak, pihak laki-laki yang datang ke rumah pihak perempuan dan membayar Palakuyaitu mas kawin
- Pihak wanita yang menerima harus mengadakan pesta untuk menyambut kedatangan pihak laki-laki.
- Laki-laki dan perempuan yang menjadi suami istri mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama terhadap pembinaan rumah tangga dan keturunan.
- Pihak yang menimbulkan perceraian atas perkawinannya harus menanggung dan mengganti kerugian perkawinan. (Tim Penyusun, 1998 : 9-10)
Jalan Hadat secara umum bermakna sebagai pengikat antara suami istri yang tidak bisa diputus, karena jika Jalan Hadat tidak dibayarkan, maka tidak adanya Surat Perjanjian Kawin, dengan demikian tidak adanya sebuah perkawinan. Dengan adanya isyarat-isyarat adat berupa adanya Jalan Hadat dalam upacara perkawinan ini merupakan salah satu upaya untuk menunjang kelestarian sikap moral dalam rangka membangun diri manusia dan menjaga keharmonisan hidup manusia dengan Tuhan, sesama dan lingkungan.
Pembayaran 16 (enam belas) butir materi simbolis sikap moral etika dalam Jalan Hadat adalah menuntut pihak pengantin laki-laki mematuhi norma terhadap keluarga pihak pengantin perempuan dan ikrar untuk menjaga keutuhan rumahtangga yang akan dibangun yang dilakukan dengan disaksikan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang dalam hal ini dimanifestasikan dengan Kameluh Putir Santang (dalam ritual agama Hindu Kaharingan), para leluhur dan masyarakat.
Dari keseluruhan Jalan Hadat tersebut ada yang bermakna khusus bagi kedua mempelai itu sendiri, bagi keluarga maupun masyarakat, yaitu :
- Pembayaran Tutup Uwan, Sinjang Entang, Pakaian Sinde Mendeng, Saput, Lapik Luang, Bulau Ngandung, Duit Turus di atas merupakan suatu simbol yang bermakna sikap sopan santun atau penghormatan penganten laki-laki dan keluarganya terhadap keluarga dekat, keluarga jauh pihak penganten perempuan serta masyarakat yang diundang menghadiri upacara perkawinannya.
- Sedangkan pembayaran Palaku, Garantung Kuluk Pelek, Lamiang Turus Pelek, Bulau Singah Pelek, Duit Lapik Ruji, Pinggan Pananan Pahanjean Kuman dan Jangkut Amak merupakan perlambang ikrar dan tekad kedua penganten tersebut untuk membentuk keluarga rumah tangga yang sejahtera dan harmonis.
Prosesi Paska Perkawinan Suku Dayak Ngaju
Setelah prosesi acara perkawinan tersebut selesai masih ada beberapa prosesi pasca perkawinan yang harus dilalui oleh kedua mempelai, yaitu :
1. Maruah Pali
Maruah artinya menghapus atau mengakhiri. Pali berarti tabu atau pantangan. Jadi yang dimaksud dengan acara Maruah Pali adalah acara yang dilaksanakan sebagai tanda berakhirnya masa berpantangan bagi kedua mempelai. Karena setelah acara perkawinan, kedua mempelai harus menjalani masa Pali yaitu masa berpantangan selama tiga hari atau paling lama tujuh hari sejak hari perkawinan mereka.
Pantangan yang tidak boleh mereka lakukan selama menjalani masa Pali adalah :
- Melakukan hubungan suami istri
- Mengadakan perjalanan jauh
Setelah masa Pali habis, diadakan upacara Maruah Pali bagi kedua penganten yaitu ditandai dengan pemotongan satu ekor ayam kemudian kedua mempelai ditampungtawar oleh kedua orang tua. Selanjutnya keduanya diajak berkunjung ke keluarga wanita.
2. Pakaja Manantu (Penerimaan Menantu)
Upacara ini merupakan upacara menerima menantu oleh kedua orang tua suaminya. Upacara ini dilakukan di rumah orang tua laki-laki. Upacara ini merupakan sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia bahwa anak mereka sudah memiliki pasangan hidup.
Pada upacara inilah orang tua suaminya menyerahkan Batu Kaja yang merupakan bagian dari Jalan Hadat, sebab pada saat Haluang Hapelek, Batu Kaja ini hanya disebutkan tetapi tidak diserahkan. Dengan selesainya upacara Pakaja Manantu, maka selesailah rangkaian upacara yang terkait dengan perkawinan.
Nilai-nilai suci dan luhur yang terkandung dalam ajaran tentang perkawinan memberikan pelajaran yang berharga bagi masyarakat suku Dayak Ngaju dalam menjalani kehidupan. Karena hahekat perkawinan tidak hanya merupakan dorongan biologis saja, akan tetapi lebih tinggi lagi yaitu tuntutan psikologis untuk mendapatkan keturunan dan membangun diri manusia secara utuh. Karena dalam upacara perkawinan memberikan nilai yang baik yaitu mendidik dalam mewujudkan cita-cita dan kebahagiaan hidup.
Demikian juga halnya dengan pemberlakuan Jalan Hadat dalam perkawinan masyarakat suku Dayak Ngaju yang inti utamanya adalah bagaimana mengajarkan sikap moral dalam membentuk rumah tangga atau dalam perkawinan. Sikap dan perilaku yang baik perlu dipertahankan dan ditingkatkan adalah berkata secara jujur dan bertindak secara layak dan pantas agar menjadi paradigma moral bagi sesama yang lain, terutama bagi generasi muda yang belum matang dan masih dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Dengan kata lain harus ada persesuaian antara perkataan dengan perbuatan. Dengan mempertahankan hubungan hubungan sosial yang selaras. Diharapkan pula bahwa mereka selalu berupaya untuk mengendalikan diri dari hawa nafsu dan perbuatan tercela, terutama tidak melakukan hubungan seksual diluar nikah agar pelaksanaan upacara sebuah perkawinan bukan hanya merupakan sebuah simbol saja.
Kewajiban bagi seorang mempelai laki-laki untuk membayar Jalan Hadat bagi mempelai perempuan dalam perkawinan pada suku Dayak Ngaju juga mencerminkan bahwa dalam kebudayaan masyarakat Dayak Ngaju perempuan begitu dihormati, sehingga tidak boleh diperlakukan sembarangan. Dalam memperoleh seorang perempuan sebagai istri, seorang laki-laki harus mempunyai dan menerapkan nilai-nilai etika moralitas terhadap perempuan dan keluarganya. Melalui penerapan Jalan Hadat ini kita dididik agar bisa menghargai, menyayangi dan menghormati orang lain.
Penerapan Jalan Hadat dalam upacara perkawinan masyarakat Dayak Ngaju,sesungguhnya yang menjadi intinya adalah bagaimana sebuah komunikasi yang akan terjalin antara keluarga luas dari pihak-pihak yang bersangkutan serta menunjang kelestarian sikap moral dalam rangka membangun diri manusia dan menjaga keharmonisan hidup manusia dengan Tuhan, sesama dan lingkungan.
Sumber :
- Tim penyusun. 1974, Undang-Udang Perkawinan No. II Tahun 1974.
- Ilon, Y. Nathan. 1990. Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang Tingang Sebuah Konsepsi Memanusiakan Manusia Dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah. Badan Kearsipan Daerah Kalimantan Tengah.
- Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Paramita. Surabaya.
- Agan, Thian. 1998, Buku Upacara Perkawinan Umat Hindu Kaharingan. Palangka Raya. Majelis Besar Agama Hindu kaharingan Pusat Palangka Raya.
- Tim Penyusun. 1998. Ritus dan Peralatan Perkawinan Pada Suku Dayak Ngaju Kalimanatan Tengah. Depdikbud Kanwil Bagian Proyek Permuseuman Prop. Kalteng. Palangka Raya.
- Riwut, Tjilik. 2003, Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur). Disunting oleh Nila Riwut. Yogyakarta, Pusakalima.
- Tim penyusun. 2003. Panaturan, Palangka Raya, Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan Pusat Palangka Raya.
- "UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT SUKU DAYAK NGAJU DALAM KAJIAN AGAMA DAN ADAT." Ekapalangka. 26 Mei 2011. Diakses 2 April 2016. https://ekapalangka.wordpress.com/2011/05/26/upacara-perkawinan-masyarakat-suku-dayak-ngaju-dalam-kajian-agama-dan-adat/.
- Nali Eka, S.Ag, M.Si. "LEWU DAYAK." JALAN HADAT PERKAWINAN SEBAGAI REFLEKSI ETIKA KEHIDUPAN MASYARAKAT HINDU KAHARINGAN DAYAK NGAJU. 14 Juli 2014. Diakses 2 April 2016. http://manggatangutustarung.blogspot.co.id/2014/07/jalan-hadat-perkawinan-sebagai-refleksi.html.
loading...
loading...