Tumbang Anoi menjadi tempat yang bersejarah bagi Suku Dayak karena di tempat itulah digelar Rapat Damai Suku Dayak pada tanggal 22 Mei s/d 24 Juli 1894. Saat itu, rapat akbar tersebut dihadiri sekitar 1.000 orang dari 152 suku Dayak yang ada di Pulau Kalimantan yang mencakup wilayah Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Rapat itu, antara lain menghasilkan kesepakatan untuk mengakhiri pertikaian sesama suku Dayak dan tradisi "mengayau" atau memenggal kepala manusia. Dengan adanya perjanjian itu maka terjalinlah persatuan dan persaudaraan antar suku-suku Dayak yang dulunya saling bermusuhan satu sama lain.
Kampung Tumbang Anoi pada Tahun 1894 (Koleksi Tropenmuseum)
Latar Belakang
Pada jaman dahulu, "Hakayau" atau "Ngayau" merupakan tradisi Suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan. Para "penjelajah dan akademisi asing" mencatat bahwa Suku Dayak Iban dan Suku Dayak Kenyah adalah dua dari suku Dayak yang memiliki adat Ngayau, yaitu memenggal dan membawa pulang kepala musuh.Kondisi semakin diperparah dengan adanya sengketa perebutan lokasi menyadap getah nyatu antara Suku Dayak Ngaju dari sungai Kahayan dengan Suku Dayak Kenyah dari sungai Mahakam, yang kebetulan lokasinya berada di perbatasan wilayah kedua suku tersebut, yaitu di Puruk Ayau dan Puruk Sandah. Sengketa ini memicu perang dan saling kayau antar kedua suku yang dikenal dengan peristiwa "Kayau 100".
Situasi Pulau Kalimantan di Abad ke-19
Ketika berakhirnya pendudukan kolonial Inggris di tahun 1817, Pemerintah Hindia Belanda kembali menduduki Banjarmasin. Pemerintah Hindia Belanda memaksa Kesultanan Banjar agar menyerahkan secara tertulis wilayah-wilayah yang secara tidak langsung dikuasai oleh Kesultanan Banjar kepada Pemerintah kolonial Belanda. Oleh sebab itu Sultan Sulaiman (Sultan Banjar) menandatangani Persetujuan Karang Intan pada tanggal 1 Januari 1817 dan dilakukan di hadapan Residen J.D.J. Aernoud van Boekholzt. Dalam Persetujuan tersebut, dipertegas bahwa kawasan yang disebut wilayah Dayak itu adalah Dayak Besar dan Dayak Kecil (de Grote en Kleine Dajak).Persetujuan Karang Intan Pertama (01/01/1817) kemudian mengalami beberapa perubahan, peralihan dan penyempurnaan pada tanggal 13 September 1823, sehingga melahirkan Persetujuan Karang Intan Kedua di depan Residen Mr. Tobias. Pada persetujuan Karang Intan Kedua tersebut dipertegas kembali bahwa kawasan-kawasan yang diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda terdiri dari : Fort Tatas, Kween, Kutai, Berau, Pulau Laut, Pasir, Taboniau, Pegatan, Sampit dan seluruh daerah taklukannya (daerah di bawah pengaruh Kesultanan Banjar), yakni, sesuai dengan nama kawasan yang pernah diserahkan kepada pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1812 yang ditandatangani oleh Sultan Sulaiman dan Residen Inggris Alexander Hare.
Berdasarkan Persetujuan Karang Intan Kedua itu pula maka wilayah yang oleh Belanda disebut Dajaksche Provintien (wilayah Provinsi Dayak) meliputi kawasan-kawasan Kapuas, Kahayan, Dusun, Pembuang (Seruyan), Katingan, Sampit, Kotawaringin dan Jelai serta kawasan-kawasan Mendawai, Sampit, Jelai, dan Kotawaringin. Sejak tahun 1823 Pemerintah Hindia Belanda mulai mengurus Wilayah Dayak yang berdasarkan Persetujuan Karang Intan Kedua dan tidak lagi berada di bawah pengaruh Kesultanan Banjar.
Tradisi Hakayau, Habunu dan Hatetek
Ketika Belanda mulai masuk ke wilayah Dajaksche Provintien (wilayah Provinsi Dayak), kondisi saat itu sangat rawan, terutama di daerah pedalaman karena terjadi permusuhan dan sengketa antar suku yang dikenal dengan istilah "3 H" yaitu HAKAYAU, HABUNU dan HATETEK (Saling Memotong Kepala Musuh, Saling Bunuh dan Saling Penggal).Orang-orang Belanda yang berusaha masuk ke pedalaman selalu dihinggapi perasaan was-was. Ketakutan dan keresahan atas situasi tersebut juga dirasakan oleh mayarakat Suku Dayak. Masyarakat saat itu harus selalu waspada, pilihannya hanya dua : membunuh atau dibunuh, lalu jika ada yang terbunuh maka harus balas membunuh pihak yang membunuh, begitu terus menerus tidak ada habis-habisnya.
Prihatin atas situasi tersebut, Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 15 September 1893 mengeluarkan Surat Kuasa guna menugaskan para Resident Afdeling Bagian Barat dan Resident Afdeling Bagian Selatan serta Resident Afdeling Timur Kalimantan, melalui Controleur Afdeling Tanah Dayak dan Controleur Afdeling Bagian Melawi untuk mengadakan pertemuan dengan Kepala-Kepala Adat Melayu dan Dayak serta dengan pihak-pihak terkait. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk memeriksa dan sedapat mungkin menyelesaikan berbagai kasus peperangan dan pembunuhan serta perkara-perkara lainnya yang sering terjadi di masyarakat sesuai dengan peraturan-peraturan adat, serta menghindari timbulnya sengketa-sengketa baru yang melibatkan masyarakat di masing-masing wilayah.
Menurut penuturan lisan dari almarhum Pendeta A.R. Nyaring bahwa pada tanggl 14 Juni 1893 di Kuala Kapuas, atas prakarsa Residen Banjarmasin diundang para kepala suku/tokoh adat untuk membicarakan bagaimana caranya agar diselenggarakan perdamaian di antara suku-suku Dayak yang saling bermusuhan. Pertemuan tersebut membahas, antara lain :
- Memilih siapa yang sanggup dan mau menjadi ketua dan sekaligus menjadi tuan rumah penyelenggaraan Perdamaian tersebut.
- Menetapkan tempat penyelenggaraan.
- Menetapkan kapan waktu penyelengaraan.
- Menetapkan lamanya sidang damai itu bisa dilaksanakan.
Setelah Residen Banjar berkali-kali bertanya kepada para Kepala Suku dan tokoh yang hadir, siapa yang sanggup untuk menjadi ketua pelaksana dan sekaligus menjadi tuan rumah pelaksanaan Rapat Damai tersebut, hanya Damang Batu dari Tumbang Anoi yang berani menyanggupinya. Dengan demikian pertemuan awal tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan, yaitu :
- Damang Batu ditetapkan sebagai Ketua Pelaksana Rapat Damai.
- Tempat Rapat Damai di Tumbang Anoi, di Betang kediaman Damang Batu.
- Diberi waktu kurang lebih 6 bulan untuk melakukan persiapan-persiapan, dan diharapkan pada awal tahun 1894 rapat tersebut sudah bisa dimulai (catatan penyunting:ternyata masa persiapan memakan waktu kurang lebih satu tahun).
- Lama persidangan ditetapkan tiga bulan, direncanakan dimulai pada tanggal 1 Januari s/d 30 Maret 1894 (namun Rapat Damai tersebut baru dapat dimulai pada tanggal 22 Mei s/d 24 Juli 1894).
- Undangan disampaikan melalui para Kepala Suku dan tokoh masing-masing daerah.
- Utusan/peserta Rapat haruslah tokoh atau kepala suku yang mengetahui adat-istiadat didaerahnya masing-masing.
Dalam Laporan dari Controleur Afdeling Tanah Dayak disebutkan bahwa rapat pendahuluan di Kuala Kapuas saat itu dihadiri oleh 71 orang tokoh adat, kemudian disepakati agar masing-masing Kepala Adat memperhatikan kesulitan tansportasi, keterbatasan perbekalan (logistik) di perjalanan dan selama persidangan, sehingga tidak perlu membawa rombongan yang besar, kecuali orang-orang yang memenuhi syarat saja ke Tumbang Anoi. Disebutkan pula bahwa Pemerintah Hindia Belanda ikut mendukung penyediaan bahan makanan bagi peserta Rapat Damai ini.
Setelah selesai mengikuti rapat pendahuluan tersebut di Kuala Kapuas, Damang Batu langsung kembali ke Tumbang Anoi dan menyampaikan undangan secara lisan kepada masyarakat yang ada di wilayahnya mulai dari desa Tumbang Miri dan sepanjang sungai Miri, sepanjang sungai Hamputung dan sepanjang sungai Kahayan dari Tumbang Miri sampai Lawang Kaang (Tumbang Dongoi) di hulu Kahayan yang kesemuanya memang mempunyai jaringan hubungan keluarga dengan Damang Batu.
Selanjutnya Damang Batu melakukan persiapan-persiapan bersama warganya antara lain membangun pondok di hulu dan hilir Tumbang Anoi dan juga di seberang desa Tumbang Anoi bagi para tamu dan undangan rapat. Pondok itu dilengkapi dengan dapur tempat memasak, dan di sekelilingnya ditanami ubi kayu, yang dimaksudkan sebagai makanan sampingan bagi para peserta nanti.
Selama sekitar lima bulan Damang Batu melakukan berbagai persiapan secara gotong royong bersama warganya, diantaranya sosialisasi kepada warganya, mengumpulkan sumbangan bahan makanan dari penduduk di wilayah Sungai Kahayan hulu, sepanjang sungai Miri, dan sepanjang sungai Hamputung. Damang Batu sendiri telah menyiapkan 100 ekor kerbau miliknya untuk menjamin ketersediaan daging selama pelaksanaan rapat. Menjelang akhir bulan Desember 1893 atau bulan keenam sesuai janji, segala sesuatu telah siap.
Dalam kepanitiaan, selain terdiri dari bapak-bapak tokoh masyarakat Tumbang Anoi dan sekitarnya, juga melibatkan pihak perempuan (Nyai). Tercatat paling tidak ada sebelas perempuan yang menjadi anggota Panitia dari Rapat Damai ini, diantaranya Nyai Rantai yang adalah isteri dari Damang Batu sendiri.
Dari pihak Belanda sendiri, dipimpin oleh Controleur Tanah Dayak Kapuas dan Controler Melawi Nanga Pinuh, dengan menggunakan transportasi sungai dan kadang-kadang dengan berjalan kaki, tiba di Desa Tumbang Anoi sebelum Acara Pembukaan. Dalam Laporan dari Controleur Afdeling Tanah Dayak disebutkan bahwa Controleur Tanah Dayak tiba di Tumbang Anoi pada tanggal 8 Mei 1894, sedangkan Controleur Melawi, akibat hujan yang turun sesudah tanggal 26 April 1894 di daerah hulu sungai, mengalami berbagai hambatan dalam perjalanan, sehingga baru sampai di Tumbang Anoi tanggal 20 Mei 1984.
Sementara di Tumbang Anoi, tempat penginapan telah diatur berdasarkan petunjuk dan arahan Damang Batu, yaitu pondok-pondok di seberang sungai disiapkan untuk orang-orang Ot, sengaja ditempatkan agak jauh dari kelompok-kelompok suku yang lain agar mudah pengawasannya. Yang ditugaskan sebagai pengawas keamanan adalah seorang Ot yang dikepalai oleh Tingang Kuai yang terkenal pemberani dan disegani karena ketangguhannya dalam berperang. Ia dibantu oleh Tamanggung Numai dan lima belas orang Ot lainnya. Kedua tokoh itu terkenal pemberani dan tangguh dalam membela kebenaran, sehingga selama berlangsungnya sidang perdamaian, tak ada seorangpun yang berani berbuat onar.
Pedoman Rapat Damai Suku Dayak di Tumbang Anoi
Untuk menetapkan pedoman dalam menangani perkara-perkara yang akan diajukan dalam Persidangan Adat, pada tanggal 21 Mei 1894 dilakukan rapat "kilat" yang dihadiri oleh 2 (dua) orang Controleur yang sudah tiba di Tumbang Anoi, juga dihadiri oleh Yang Mulia Penembahan Sintang dan kedua Kepala Distrik dari Afdeling Tanah Dayak.Adapun Pedoman tersebut adalah sebagai berikut :
- Bahwa perkara-perkara yang akan disidangkan adalah perkara-perkara yang usianya maksimal 30 tahun. Namun demikian perkara-perkara penting yang kejadiannya sudah melewati masa 30 (tiga puluh) tahun masih dapat disidangkan apabila ternyata pihak tergugat dalam waktu 30 (tiga puluh) tahun telah memberi kepada penggugat suatu turus/piturus berupa tanda bahwa ia bersedia untuk menyelesaikan perkara tersebut secara damai.
- Bahwa pihak penggugat agar mengajukan gugatannya/menyampaikan informasi mengenai tujuan dan pokok perkara, waktu dan tempat kejadian perkara kepada sidang dalam waktu 40 (empat puluh) hari terhitung tanggal pembukaan persidangan.
- Untuk menyampaikan gugatan disediakan fasilitas-fasilitas yang luas; semua pihak bebas untuk menyampaikan suatu surat permohonan kepada kedua Controleur atau menyampaikan gugatan secara lisan kepada Juru Tulis Indonesia yang diperbantukan kepada para Controleur, yang akan memasukkan gugatan tersebut dalam suatu daftar khusus.
- Karena beberapa kendala dalam memanggil semua tergugat dan saksi-saksi dari daerah-daerah yang terpencil maka apabila sudah berakhir masa 40 hari tersebut di atas, para tergugat tidak dapat dihadirkan, maka keputusan persidangan tanpa kehadiran tergugat apabila gugatan tersebut menurut pendapat persidangan didukung oleh dasar-dasar yang kuat, dianggap terbukti dengan meyakinkan.
Mengenai hukuman-hukuman yang akan dikenakan telah ditetapkan peraturan-peraturan yaitu sebagai berikut :
- Perkara-perkara pembunuhan
Untuk pemengalan kepala, tergugat biasanya membayar "Sahiring" kepada keluarga terdekat dari yang dibunuh seterusnya selalu diikuti dengan "tipuk danum" berupa persembahan korban damai guna meniadakan semua bentuk balas dendam di kemudian hari. Dahulu, tipuk danum terdiri atas seorang manusia dan 100 ramu yang (dinilai dengan 2 jipen atau diuangkan sebesar 60 golden), dan menurut kebiasaan sekarang dinilai dengan satu kerbau dan 100 ramu. Menurut peraturan adat saat itu, jumlah sahiring dengan menpertimbangkan tingkat sosial dan tingkat kekayaan orang yang di penggal kapalanya, dapat bervariasi antara 20 - 100 jipen, berupa jipen yang dinilai sama dengan 15 real atau 30 gulden. Apabila dikedua belah pihak, jumlah orang yang dipenggal sama maka keduanya didamaikan dengan saling memberi tipuk danum. Sedangkan jika jumlah orang yang dipenggal kepalanya tidak sama, maka pihak yang memenggal kepala lebih banyak harus membayar sahiring untuk jumlah pembunuhan lebih yang mereka lakukan.
- Balas dendam
Apabila salah satu pihak bermaksud membalas dendam, dengan memenggal beberapa orang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkara semula, maka pihak ini akan menerima sahiring dari pihak yang memenggal kepala, ditambah sejumlah uang berupa "pangaturui" yang kurang lebih sama dengan sahiring.
- Korban manusia
Akibat korban manusia pada acara Tiwah. Pihak yang memberi seorang yang akan dijadikan korban manusia, membayar (apabila ia memperoleh keuntungan dari pemberian korban manusia itu) saparuh sahiring, dan pihak yang membunuh korban manusia membayar separuhnya. Selain tipuk danum. Apabila pemberian tersebut tidak mendapat keuntungan, yang memberi hanya membayar dalam jumlah tertentu yang dinamakan "tantumahan", yang nilainya kurang dari separuh sahiring. Pihak yang membunuh membayar sisa sahiring dan ditambah tipuk danum. Apabila yang digunakan sebagai korban manusia tidak diberikan atau dibeli, pihak pembunuh harus membayar sepenuhnya jumlah sahiring dan tipuk danum.
- Orang yang ditawan
Orang yang ditawan biasanya dilakukan oleh pihak yang menawan kecewa karena tidak dipenuhinya tuntutan tertentu. Dan upaya untuk menguatkan tuntutan tersebut diterapkanlah "peteng lenge" (ikat tangan) dengan ketentuan sebagai berikut :
- Apabila seseorang ditawan atas perkara orang lain, maka terlebih dahulu diadakan penelitian mengenai alasan menawan orang yang bersangkutan. Sesudah itu dengan mempertimbangkan jumlah hari orang tersebut ditawan, pihak yang menawan diwajibkan membayar denda "peteng lenge" kepada tawanan dan kepala kampung dimana tawanan itu ditangkap.
- Apabila seseorang ditawan karena anggota keluarganya atau anggota marganya terlibat dalam perkara-perkara yang belum diselesaikan, maka perkara-perkara tersebut harus diselesaiakna dan diambil suatu keputusan terlebih dahulu. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa tidak selesainya perkara-perkara tersebut merupakan sebab seseorang tidak bersalah harus menderita. Selanjutnya ditentukan satu kali lagi suatu peteng lenge, tetapi dalam jumlah yang lebih besar dari semulanya.
- Perampokan
Alasan-alasan untuk perampokan adalah sama dengan yang perkara orang yang ditawan diatas. Bedanya adalah suatu pihak tidak menawan seseorang untuk memperkuat suatu tuntutan, melainkan karena keinginan sendiri untk memperoleh apa yang tidak dapat diperoleh dengan secara damai melalui perundingan-perundingan (merampok). Perkara ini diselesaikan dengan cara yang mirip pada perkara tawanan, namun pembayaran penteng lenge diganti dengan pembayaran saki.
- Perkawinan dan warisan
Karena perkara sengketa perkawinan sangat kompleks dan beragam, maka tidak dapat dirancang suatu pedoman yang tepat untuk menangani perkara-perkara tersebut. Sehingga dalam rapat/sidang yang menangani perkara-perkaraan khusus tersebut di atas, keputusan yang diambil pun beragam karena berpedomanan pada peraturan yang berbeda-beda menyesuaikan kasus/sengketa.
- Pembayaran/Kompensasi
Pembayaran dengan barang-barang yang disimpan dibebankan kepada pelaku-pelaku kejahatan. Apabila telah meninggal, ahli-ahli waris harus membayarnya dan apabila ternyata terdapat ahli-ahli waris yang dapat membayarnya. Kalau tidak tagihan dihapus karena tidak dapat ditagih. Akan tetapi untuk menghindarkan balas dendam, bila terkait dengan perkara-perkara pembunuhan, anggota keluarga dari yang meninggal wajib menerima tipuk danum untuk mendamaikan kedua belah pihak.
- Penagihan
Pihak yang dipenuhi tuntutannya dilarang mengambil sendiri tagihannya. Ganti rugi yang ditetapkan akan ditagih sesudah rapat selesai dengan perantara pemerintah Hindia Belanda (mirip rekber untuk transaksi di internet :D) dan sedapat mungkin dilakukan pembayaran antar afdeling dengan dompet tertutup.
Pembukaan dan Pelaksanaan Rapat Damai Suku Dayak di Tumbang Anoi
Setelah ditentukan Pedoman yang secara garis besarnya disebut di atas, pada tanggal 22 Mei 1894 dilakukan acara Pembukaan di lapangan luas di depan rumah Damang Batu. Dalam kesempatan itu disampai Pidato Pembukaan oleh Kontroleur Tanah Dayak yang diterjemahkan kedalam bahasa Dayak oleh Kepala Distrik Dayak Kecil Raden Johanes Karsa Negara. Acara pembukaan ini ditandai dengan 21 kali tembakan kehormatan. (Dari catatan Damang Pijar, Kepala Adat Kahayan Hulu, jumlah tokoh adat yang hadir dalam pertemuan ini sebanyak 136 orang, sedangkan jumlah suku yang diundang mencapai 152 kepala suku/kepala adat.)
Suasana Tumbang Anoi pada Tahun 1894
Jumlah kepala adat dan tokoh yang datang serta mereka yang datang untuk mengajukan perkara-perkara dari hari ke hari bertambah. Satu bulan setelah persidangan dibuka, lebih kurang 830 orang hadir di Tumbang Anoi. Jumlah ini belum termasuk masyarakat Tumbang Anoi dan sekitarnya.
Persidangan di buka setiap hari kecuali hari Minggu, dimulai pukul 8.00 pagi sampai pukul 13.00 siang. Pada malam hari oleh Damang Batu dilangsungkan acara hiburan antara lain Kanjan, Manasai, Tari Mandau, Kandan dan Parung, sehingga terjalin rasa persaudaraan antar suku.
Berdasarkan data yang ada, Rapat Damai yang dilangsungkan selama tiga bulan terdapat sebanyak 233 perkara yang sempat diproses dalam sidang. Dari 233 perkara tersebut hanya 152 perkara yang dapat diselesaikan secara tuntas, sedangkan 81 perkara tidak dapat dipertimbangkan untuk ditangani dan diselesaikan. Proses sidang berjalan dengan baik, demikian pula tata tertib yang telah disepakati tidak pernah dilanggar.
Berikut adalah nama-nama yang hadir dalam pertemuan tersebut yaitu tokoh-tokoh yang dipercayai oleh masyarakat, sebagaimana catatan Damang Pijar, kepala adat Kahayan Hulu, adalah sebagai berikut:
- Asisten Residen Hoky dari Banjarmasin
- Kapten Christofel dari Kuala Kapuas
- Letnan Arnold dari Kuala Kapuas
- Raden Johannes Bangas dari Kuala Kapuas
- Jaksa Sahabu dari Kuala Kapuas
- Tamanggung Dese dari Kuala Kapuas
- Juragan Tumbang dari Kuala Kapuas
- Suta Nagara, Telang - sungai Mahakam (Kalteng)
- Tamanggung Jaya Karti, Buntok
- Tamanggung Sura, Buntok
- Mangku Sari, Tumbang (Muara) Teweh
- Tamanggung Surapati, Siang
- Tamanggung Awan, Saripoi
- Tamanggung Udan, Nyarung Uhing
- Jaga Beruk, Tumbang Kunyi
- Raden Sahidar, Tumbang Jelay
- H. Bamin, Tumbang Jelay
- Tamanggung Hadangan, Tumabang Likoi
- Tamanggung Lenjung, Tumbang Lahei
- H. Bahir, Tumbang Lahung
- H. Halip, Tumbang Lahung
- Bang Ijuk, Batu Salak - Sungai Mahakam (KalTim)
- Kawing Irang, Batu salak
- Bang Lawing, Batu salak
- Taman Lasak, Tumbang Pahangei
- Juk Bang, Tumbang Pahangei
- Juk Lai, Tumbang Pahangei
- H. Burit, Samarinda
- Taman Jejet, Long Iram
- Taman Kuling, Kenyahulu
- Hang Lasan, Tumbang Nawang
- Barau Lulung, Tumbang Pahangei
- Damang Ujang, Pujon - Sungai Kapuas (KalTeng)
- Tamanggung Tukei, Tumabang Bukoi
- Damang Suling, Tumbang Tihis
- Damang Jungan, Tumaban Bukoi
- Damang Pilip, Tumbang Rujak
- Temanggung Tewung, Tumbang Sirat
- Damang Antis, Taran
- Jaga Ajun, Tumbang Tampang
- Tamanggung Jahit, Danau Tarung
- Tamanggung Tiung, Tumbang Tarang
- Siang Irang, Bulau Ngandung
- Raden Timbang, Tumbang Tihis
- Damang Rahu, Tumbang Tihis
- Damang Rambang, Pangkoh - Sungai Kahayan (Kaltim)
- Singa Rewa, Petak Bahandang
- Ngabe Anum Soekah, Pahandut
- Tamanggung lawak, Bukit Rawi
- Jaga Kamis, Bawan
- Damang Sawang, Pahawan
- Tundan, Guha
- Dambung Tahunjung, Sepang Simin
- Dambung Turung, Tuyun
- Jaga Saki, Luwuk Sungkai
- Kiai Nusa, Tumbang Hakau
- Singa Laju, Hurung Bunut
- Singa Mantir, Teweng Pajangan
- Raden Binti, Tampang
- Mangku Tarung, Tampang
- Tamanggung Tuwan, Kuala Kurun
- Singa Ranjau, Kuala Kurun
- Ngabe Hanjung, Tumbang Manyangan
- Damang Murai, Tewah
- Dambung Nyaring, Tewah
- Singa Mantir, Kasintu
- Singa Antang, Batu Nyiwuh
- Tamanggung Tawa, Tumbang Habaon
- Tembak, Tumbang Hanbaon
- Damang Sangkurun, Tumbang Sarangan
- Damang Kacu, Datah Pacan
- Dambung Odong, Tumbang Miri
- Mangku Saman, Tumbang Marikoi
- Singa Saing, Tumbang Marikoi
- Bahau, Tumbang Marikoi
- Singa Ringin, Tumbang Maraya
- Mangku Rambung, Lawang Kanji
- Akin, Lawang Kanji
- Mangku Rambung, Tumbang Rambangun
- Damang Batu, Tumbang Anoi
- Dambung Karati, Tumbang Anoi
- Dambung Sanduh, Lawang Dahorang
- Singa Dohong, Tumbang Mahorai
- Raden Pulang, Tumbang Mahorai
- Dambung Saiman, Sungai Hurus, Sungai Hamputung
- Singa Kating, Tumbang Korik, Sungai Hamputung
- Jaga Jalan, Tumbang Korik, Sungai Hamputung
- Tamanggung Paron, Tumbang Sonang, Sungai Hamputung
- Damang Kawi, Tumbang Sonang, Sungai Hamputung
- Tamanggung Pandung, Tumbang Musang, Sungai Miri
- Damang Teweh, Tumbang Pikot, Sungai Miri
- Damang Patak, Tumbang Hujanoi, Sungai Miri
- Mangku Turung, Mangkuhung, Sungai Miri
- Dambung Besin, Tumbang Manyei, Sungai Miri
- Singa Tukan, Tumbang Masukih, Sungai Miri
- Singa Dengen, Harueu, Sungai Miri
- Damang Jinan, Tumbang Manyoi, Sungai Miri
- Damang Singa Rangan, Tumbang Malahoi, Sungai Rungan, dan Manuhing
- Singa Ringka, Tumbang Malahoi, Sungai Rungan dan Manuhing
- Damang Bakal, Manuhing, Sungai Rungan dan Manuhing
- Tamanggung Hening, Manuhing, Sungai Rungan dan Manuhing
- Damang Anggen, Sungai Katingan
- Damang Sindi, Lahang, Sungai Katingan
- Dambung Rahu, Talunei, Sungai Katingan
- Damang Bundan, Tumbang Sanamang, Sungai Katingan
- Raden Runjang, Tumbang Panei, Sungai Katingan
- Dambung Panganen, Tumbang Panei, Sungai Katingan
- Raden Tinggi, Balai Behe, Sungai Sanamang
- Tamanggung Penyang, Tumbang Bemban, Sungai Sanamang
- Tamanggung Rangka, Tumbang Sanamang, Sungai Sanamang
- Tamanggung Tumbun, Rantau Pulut, Sungai Seruyan
- Damang Jungan, Tumbang Kalanti, Sungai Kalang
- Singa Antang Kalang, Tumbang Gagu, Sungai Kalang
- Tamanggung Johan, Tumbang Manggu, sungai Samba
- Damang Awat, Tumbang Basain, sungai Samba
- Tamanggung Bahe, Rantau Tapang, Sungai Samba
- Raden Maung, Tumbang Hangei, Sungai Samba
- Tamanggung Luhing, Tumbang Atei, Sungai Samba
- Condrohur, Tumbang Jinuh
- H. Mansyur, Tumbang Jinuh
- Tamanggung Bungai, Tumbang Ela
- Marta Jani, Nasa Jinuh
- Kiai Saleh, Manukung
- Raden Adong, Manukung
- Raden Paku, Manukung
- H.Mas Maruden, Sakasa
- Raden Lang Laut, Serawai, Sungai Serawai
- Raden Bundung, Tuntama, Sungai Serawai
- Raden-Singa Luwu, Malakan, Sungai Serawai
- Raden Damang Bewe, Mantonai, Sungai Serawai
- Tamanggung Singa Nagara, Tumbang Nyangai, Sungai Serawai
- Tamanggung Mangan, Batu Saban, Sungai Serawai
- Tamanggung Tingai, Punan Mandalan, Sungai Serawai
- Tam Juhan, Tumbang karamei, Sungai Serawai
- Tam Dulah, Tumbang Balimbing, Sungai Serawai
- Tam Sarang, Mondai, Sungai Serawai
Hasil dan Keputusan Rapat Damai Suku Dayak di Tumbang Anoi
Berikut adalah hasil keputusan Rapat Damai Suku Dayak di Tumbang Anoi Tahun 1894 yang diringkas menjadi sembilan butir keputusan penting (Sejarah Kabupaten Kapuas, 1981, hal. 33-34), yaitu:- Menghentikan permusuhan dengan pihak Pemerintah Hindia Belanda;
- Menghentikan kebiasaan perang antar sukudanantardesa
- Menghentikan kebiasaan balas dendam antar keluarga;
- Menghentikan kebiasaan adat mangayau;
- Menghentikan kebiasaan adat perbudakan;
- Pihak Belanda mengakui berlakunya Hukum Adat Dayak dan memulihkan segala kedudukan, dan hak-hak suku Dayak dalam lingkup pemerintahan lokal tradisional mereka;
- Penyeragaman hukum adat antar suku;
- Menghentikan kebiasaan hidup berpindah-pindah dan agar menetap di suatu pemukiman tertentu;
- Mentaati berlakunya penyelesaian sengketa antar penduduk maupun antar kelompok yang diputuskan oleh Rapat Adat Besar yang khusus diselenggarakan selama Rapat Damai ini berlangsung.
Rapat Damai Suku Dayak di Tumbang Anoi ditutup pada tanggal 24 Juli 1894 dalam suatu upacara di depan rumah Damang Batu. Sehari kemudian, yaitu pada tanggal 25 Juli 1894, semua kepala suku dan tokoh adat mengucapkan SUMPAH PERDAMAIAN, bahwa mereka selanjutnya dengan segala kemampuan siap membantu Pemerintah Hindia Belanda dalam upaya untuk mencapai sasaran perdamaian dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Meskipun "terselip" kepentingan pihak pemerintah Hindia Belanda sebagaimana poin 1 keputusan rapat tersebut, termasuk ide untuk bersumpah siap membantu pemerintah Hindia Belanda, bagi Suku Dayak, hasil Rapat Damai Tumbang Anoi itu sangat penting, karena sejak saat itulah disepakati untuk menghentikan segala perselisihan dan permusuhan di antara sesama suku Dayak di seluruh Pulau Kalimantan.
Referensi cetak :
- Catatan dari almarhum Damang Nyaring yang dicatatnya dari almarhum Lahing Tabias, dan dicatat kembali oleh almarhum Pendeta A.R. Nyaring, desa Tampang, seorang cucu Damang Batu: Tentang riwayat Damang Batu, Beteng, dan Perdamaian.
- Catatan Yakup Sawung, S.H, 1972 : Tentang nama-nama peserta rapat perdamaian (catatan penyunting : sebagian tercantum dalam catatan yang diperoleh W.A.Gara)
- Catatan almarhum Damang A. Pijar, mengenai nama-nama peserta rapat damai.
- Abdurrahman. 1994. Satu Abad Musyawarah Perdamaian Tumbang Anoi (1894-1994). Makalah bandingan pada Seminar peringatan Seratus tahun Rapat Damai Tumbang Anoi, Universitas Palangka Raya, di Palangka Raya, 25 Mei 1994.
- Friady, Johnly. 1983. Sejarah Singkat Damang Batu, Betang dan Perdamaian Tumbang Anoi 1894. Naskah tidak diterbitkan.
- Kerjasama Pemerintah Kabupaten Gunung Mas dan Borneo Institute, 2013, Hapakat Manggatang Utus, Dari Kalimantan Mencari Identitas.
- Lembaga Penelitian Universitas Palangka Raya, 2005, Sejarah Kalimantan Tengah (Edisi I).
- Residen Kalimantan Afdeling Barat, 1894, Laporan dari Controleur Afdeling Tanah Dayak Residensi Kalimantan Afdeling Selatan dan Timur dan Afdeling Bagian Melawi (Afdeling Sintang, Residens Kalimantan Afdeling Barat), mengenai Pertemuan di Toembang Anoei, diterjemahkan oleh JM Nainggolan, 1986.
- Usop, KMA. 1994. Musyawarah se Kalimantan Pertama: Rapat Damai Tumbang Anoi. Misi Sejarah dan Budaya. Makalah pada Seminar peringatan Seratus tahun Rapat Damai Tumbang Anoi. Universitas Palangka Raya, di Palangka Raya, 26 Mei 1994.
Referensi online :
- Ian Ardyan. 2012. Facebook Note. Menyimak Perjalanan Sejarah Suku Dayak dalam "Perjanjian Tumbang Anoi", pada hari Selasa tanggal 22 Mei 1894. (Online) https://www.facebook.com/notes/ian-ardyan/menyimak-perjalanan-sejarah-suku-dayak-dalam-perjanjian-tumbang-anoi-pada-hari-s/326932487401458/ (diakses Januari 2016)
- Ester Kusumanegara. 2014. "Sejarah Perdamaian Tumbang Anoi, Kahayan, Central Borneo". (Online) http://esterkusumanegara.blogspot.co.id/2012/09/sejarah-perdamaian-tumbang-anoi.html (diakses Januari 2016)
- dadblogprov. 2014. "Ringkasan Sejarah Pakat Damai Tumbang Anoi 1894". (Online) http://dadblogprov.blogspot.co.id/2014/11/ringkasan-sejarah-pakat-damai-tumbang.html (diakses Januari 2016)
Sumber foto :
- Wikipedia. 2009. "COLLECTIE TROPENMUSEUM Gezicht vanaf de Kahajan rivier op de Dajak kampong Toembanganoi Midden-Borneo" URL: https://en.wikipedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Gezicht_vanaf_de_Kahajan_rivier_op_de_Dajak_kampong_Toembanganoi_Midden-Borneo._TMnr_60010391.jpg
loading...
loading...