Menurut legenda, suku Dayak Iban sejak dahulu kala telah memiliki aksara sendiri. Alkisah Renggi, nenek moyang mereka, melarikan diri dari banjir besar sambil membawa kulit kayu berisi aksara Iban. Namun lantaran terkena air, aksara yang tercatat pada kulit kayu itu kemudian hilang. Renggi lantas menelan kulit kayu itu konon sejak saat itulah lahir tradisi menuturkan beberapa cerita silsilah dan adat secara turun-temurun berdasarkan hafalan pada masyarakat suku Dayak Iban.
Kabar baiknya, sekarang orang Dayak Iban tidak lagi hanya sekedar bisa menuturkan beberapa cerita tradisi mereka, namun dapat juga menuliskannya aksaranya berkat temuan Dunging Anak Gunggu (1904-1985), sosok Iban jenius asal Serawak, Malaysia Timur, yang menciptakan aksara Dayak Iban pada tahun 1947. Berawal dari niat untuk melestarikan bahasa Iban melalui aksara, beliau lantas menciptakan 77 simbol yang mewakili bunyi-bunyi dalam bahasa Iban dan selanjutnya menyederhanakannya menjadi 59 simbol. Karena jasanya, aksara Dayak Iban tersebut dinamakan "Aksara Dunging".
Dunging Anak Gunggu awalnya mengajarkan beberapa simbol itu kepada keponakannya. Beberapa orang lain dari sukunya hanya menaruh minat sedikit pada aksara ciptaannya. Pemerintah kolonial Inggris pernah memohon Dunging mengajarkan aksara itu pada orang-orang Iban melalui jalur pendidikan resmi. Tetapi, usaha ini berusia pendek saja lantaran beliau tak dapat menyepakati sebagian prasyarat dalam mengajarkan aksara ciptaannya. Pengajaran akhirnya tak berlanjut dan aksara Dayak Iban sempat "tenggelam" pada masa itu.
Kemunculan kembali aksara Dayak Iban di dunia barangkali dapat dikatakan berawal pada tahun 1981, ketika terbit kamus Iban-Inggris susunan Anthony Richards yang mengakui karya Dunging. Pada tahun 1990, Bagat Nunui, anak angkat Dunging, menghimpun berbagai hal mengenai aksara ini dalam sebuah buku yang tidak dipublikasikan. Pada tahun 2001, Yayasan Tun Jugah menerbitkan ensiklopedia Dayak Iban yang berisi info mengenai aksara buatan Dunging. Lalu sekarang Dr. Bromeley Philip, salah seorang cucu-keponakan Dunging, menggiatkan kembali pelestarian aksara Dayak Iban dengan menulis buku serta mengajar mata kuliah mengenai aksara tersebut.
Upaya pelestarian itu disambut baik oleh pemerintah Malaysia, sebagian besar aksara ciptaan Dunging kemudian diajarkan juga pada orang-orang non-Dayak Iban lewat universitas, sekolah-sekolah, dan beberapa komunitas berkaitan aksara. Hebatnya lagi, saat ini telah ada piranti lunak untuk menulis aksara Dayak Iban, yaitu Laser Iban.
Pengguna aksara Dayak Iban memang sebagian besar tinggal di wilayah Malaysia dan sebagian lagi di Indonesia. Jumlah keseluruhan suku Iban di Malaysia, Indonesia, serta Brunei adalah 700.000 jiwa, 15.000 jiwa ada di Indonesia. Namun, walau di Indonesia jumlah tidak sebanyak di wilayah negara tetangga, mestinya tidak mengurangi semangat untuk mempelajari aksara Dayak Iban. Mempunyai aksara saja telah jadikan suku Dayak Iban istimewa, lantaran tak semuanya suku Nusantara mempunyai aksara.
Kiranya semangat Dunging Anak Gunggu mengilhami kita semua. Tabe
Sumber :
loading...
loading...