2016/01/09

Kisah Penjelajahan Carl Bock di Kalimantan Tahun 1879

Info Itah - Carl Alfred Bock adalah penulis buku "sensasional" yang menceritakan tentang peradaban suku Dayak di Kalimantan tahun 1879, yang berjudul "The Head-Hunters Of Borneo".

Kisah Penjelajahan Carl Bock di Kalimantan Tahun 1879

Carl Alfred Bock  (Lukisan karya Hans Christian Olsen - Wikimedia Commons/Tropenmuseum)

Carl Alfred Bock


"Pada Minggu, 20 Juli 1879, saya memulai perjalanan dari Samarinda dengan dua perahu ke Tangaroeng (Tenggarong)," ungkap lelaki muda itu dalam buku catatannya, "jaraknya sekitar 30 mil perjalanan lewat sungai."

Lelaki itu adalah Carl Alfred Bock, naturalis dan pelancong kelahiran Kopenhagen, Denmark. Meskipun lahir di Denmark, Bock mengikuti kewarganegaraan orang tuanya, Norwegia. Dia pernah melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan selama enam bulan. Ketika itu usianya masih 30 tahun.

Misinya di Kalimantan merupakan titah dari Gubernur Jenderal Johan van Lansberge untuk melaporkan keberadaan suku-suku Dayak dan menghimpun spesimen sejarah alam untuk beberapa museum di Belanda.

Menyeberang Sungai Benangan di pedalaman Kalimantan.
Menyeberang Sungai Benangan di pedalaman Kalimantan. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)

Bock dalam catatannya telah berjumpa Dayak Long Wai, Dayak Long Wahou, Dayak Modang, Dayak Punan, "Orang Bukkit" dari Amontai, dan Dayak Tring. Dia juga menuturkan upayanya dalam menyingkap kisah lama dari warga setempat tentang manusia berekor. Seorang abdi kepercayaan dari Sultan Kutai A.M. Sulaiman bersaksi pernah menjumpai sosok itu dan menjulukinya dengan "Orang Boentoet".


Misteri  "Orang Boentoet"


Keingintahuan Carl Alfred Bock tentang "missing link" atau rantai kerabat yang hilang dalam buku The Origin of Species-nya Darwin itu nyaris membuat perseteruan dua kesultanan. Benarkah ras manusia berekor itu ada?

Sembari menikmati durian dalam jamuan makan malam di atas rakit, Carl Bock berbincang dengan Sultan Aji Muhammad Sulaiman dan kerabatnya tentang keberadaan ras manusia berekor. Konon, mereka menghuni permukiman Kesultanan Pasir dan tepian Sungai Teweh.

Percakapan itu membuat Bock berpikir tentang keberadaan "rantai kerabat yang hilang" yang disuarakan oleh pendukung teori Darwin.

Tjiropon, seorang abdi kepercayaan Sultan, meyakinkan Bock di depan Sultan dan para Pangeran. Sang abdi itu beberapa tahun silam pernah menjumpai sosok manusia berekor di Pasir, dan menjulukinya dengan "Orang Boentoet".

Sang abdi mendeskripsikan secara detail mengenai sosok manusia berekor. "Kepala suku mereka", ujarnya, "berpenampilan sangat luar biasa, berambut putih, dan bermata putih. Mereka memiliki ekor sekitar lima hingga sepuluh sentimeter. Uniknya, mereka harus membuat lubang di lantai rumah untuk tempat ekor, sehingga mereka dapat duduk nyaman".

Sultan Kutai pun turut takjub dengan kisah abdinya. Dia pun memberangkatkan Tjiropon bersama sebuah surat yang memohon Sultan Pasir untuk mengirimkan sepasang manusia berekor.

Sejatinya Bock sedikit ragu soal mitos manusia berekor di pedalaman Kalimantan. Namun demikian, dia setuju untuk tetap berupaya mencari "rantai kerabat yang hilang" itu. Bahkan, dia pernah menjanjikan kepada Tjiropon uang sejumlah 500 gulden apabila berhasil membawa sepasang manusia langka itu.

Beberapa hari berlalu tanpa kabar. Bock melanjutkan perjalanan dari Tenggarong ke Banjarmasin. Ketika Bock berada di kota itu, Tjiropon menjumpainya. Wajah sang abdi itu kecewa sambil berkata bahwa dia telah menyampaikan surat itu kepada Sultan Pasir, namun tidak mampu membawa ras manusia berekor pesanan Bock. Tjiropon pun memberikan penjelasan yang berbelit-belit.

Akhirnya, Residen Banjarmasin pun bersedia membantu Bock. Dia mengirim surat kepada Sultan Pasir yang isinya menanyakan sekali lagi soal keberadaan manusia berekor di wilayahnya.

Hampir sebulan berlalu, surat balasan dari Sultan Pasir sampai juga ke tangan Residen Banjarmasin. Tampaknya ada kesalahpahaman, ternyata "Orang Boentoet Sultan di Pasir" adalah sebutan bagi para pengawal pribadi Sultan Pasir.

Pantaslah Sultan Pasir marah besar hingga mengancam mengadakan perlawanan terhadap Sultan Kutai dan mengusir Tjiropon. Akibatnya, menurut Bock, mereka mendirikan kubu pertahanan dan bersiap berperang melawan Kesultanan Kutai. "Jika Sultan Kutai menginginkan Orang Boentoet saya," ujar Sultan Pasir, "Biarkan dia ambil sendiri."

Meskipun demikian, Tjiropon tetap bersikukuh dengan pendiriannya bahwa manusia berekor itu nyata adanya. "Demi Allah saya pernah melihat "Orang Bontoet" beberapa waktu silam, dan berbicara kepada mereka, tetapi saya tidak bisa melihat mereka saat ini!" ungkapnya seperti yang dicatat Bock.

Apakah ras manusia berekor itu benar-benar ada di hutan Kalimantan? Entahlah. Bock tak pernah tertarik lagi menyelisik sosok misterius itu. Dia pun menyebut peristiwa pencarian ras manusia berekor di Kalimantan sebagai "kekeliruan yang menggelikan".


Carl Bock Berjumpa dengan Suku Dayak Pemakan Manusia

"Perjalanan dari Kotta Bangoen ke permukiman Tring memakan waktu empat hari," ungkap Carl Alfred Bock. Dia berharap di Moeara Pahou dapat menjumpai suku Dayak Tring, cabang keluarga suku Bahou. Lantaran sampai tiga hari tak berjumpa seorang pun, dia berencana memasuki kampung mereka.

"Namun, Sultan dan pengikutnya berkata bahwa perjalanan menuju ke sana sangat tidak aman," ungkap Bock. "Suku itu kanibal, dibenci, juga ditakuti oleh tetangga suku mereka." Sultan Aji Muhammad Sulaiman khawatir, suku Dayak akan menduga bahwa rombongannya bersiap menyerang mereka.

"Saya harus melihat mereka karena mendengar kisah bahwa mereka keji dan kanibal. Pemerintah kolonial berharap saya dapat memberikan laporan tentang hal itu," pinta Bock. "Dan, saya pasti disalahkan kalau tidak menyaksikan mereka."

Akhirnya Sultan meluluskan permintaan Bock dengan mengirimkan sebuah perahu dengan seseorang yang akan meminta suku Dayak Tring untuk menampakkan diri. Namun, seminggu berlalu tidak ada kabar. Anehnya lagi, perahu itu tak kunjung kembali. "Apakah mereka telah terbunuh dam dimakan?" demikian keresahan Bock.

Sultan turut gusar. Kemudian dia mengirimkan perahu besar yang dipimpin seorang Kapitan Bugis. Mujurnya, tiga hari kemudian perahu kembali bersama  sekitar empatpuluhan warga Dayak Tring, termasuk empat perempuan.

"Seorang dukun perempuan mempersilakan saya untuk mengambil gambar sosoknya," ungkap Bock. "Hal yang paling menakjubkan adalah lubang telinganya panjang berbandul cincin logam. Selanjutnya, ketiadaan alis." Perempuan itu mengizinkan Bock untuk mengamati secara detail bagian tubuhnya.

Dukun wanita Dayak Tring yang menunjukkan rajah di sekujur pahanya.
Dukun wanita Dayak Tring yang menunjukkan rajah di sekujur pahanya. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)

"Kembangan tato di bagian paha juga menjadi hal yang menarik," ungkapnya. "Rambut mereka yang pendek menjadi pembeda dengan para perempuan suku-suku lainnya; dan warna kulit mereka yang lebih cerah ketimbang suku-suka Dayak lainnya, kecuali orang-orang Punan."

Sambil mengulurkan kedua tangannya, dukun perempuan tadi berkata kepada Bock bahwa telapak tangan merupakan bagian terbaik untuk dimakan. Dia juga menunjuk lutut dan dahi, sambil berkata dengan bahasa Melayu "bai, bai" (baik) demikian menurut Bock. "Menunjukkan bahwa otak dan daging lutut merupakan hidangan lezat bagi sukunya."

Kemudian seorang kepala suku Dayak kanibal menyambangi tempat menginap Bock. Namanya, Sibau Mobang, dia datang bersama pendampingnya, seorang perempuan dan dua lelaki.

Sibau Mobang Kepala Suku Dayak Tring
Sibau Mobang, Kepala Suku Dayak Tring. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)

"Saat dia memasuki rumah panggung saya," demikian tulis Bock. "Dia berdiri beberapa saat, tanpa bergerak atau pun berkata, memandangi saya dengan tatapan dalam sementara saya sedang berpura-pura tidak mengamatinya. Lalu, dia duduk dengan pelan sekitar dua meter dari kaki saya."

Tampaknya Sibau berusia sekitar 50-an tahun, demikian menurut Bock, ompong dan kempot, kulitnya coklat kekuningan, dan agaknya sakit-sakitan. Sejumput rambut kaku menghias kumis dan dagunya. Kupingnya menjuntai dan ditindik dengan lubang besar. Semua penampilan lelaki itu kian menambah kesan angker tentang dirinya.

 "Matanya mengekspresikan tatapan mata binatang buas," ungkap Bock yang mencoba melukiskan sosok lelaki itu, "dan di sekitar matanya tampak garis-garis gelap."

"Namun, lengan kanannya, yang berhias gelang logam, kondisinya lumpuh," ungkap Bock. "Untuk alasan itulah dia menempatkan senjata mandaunya di sisi kanan, dan selama beberapa tahun telah banyak korban dijatuhkan oleh orang ini dengan tebasan tangan kirinya."

Sibau berkata kepada Bock bahwa sukunya tidak makan orang setiap hari. Mereka makan daging dari berbagai satwa, nasi, dan buah-buahan liar. Namun, ujar sang kepala suku, sudah setahun ini mereka tidak makan nasi karena kegagalan panen.

Bock yang saat itu tengah melukis Sibau, kemudian buru-buru menyajikan seketel nasi yang baru saja masak kepada mereka. Lalu, dengan taburan garam, mereka menyantap nasi pulen itu.

Sebagai kenang-kenangan, Bock memberikan bingkisan berupa uang dua dolar tiap orang yang telah dilukisnya. Selain itu rombongan Dayak kanibal  mendapat sepikul beras, untaian tasbih manik-manik, kain blacu yang panjangnya sekitar 22 meter untuk dibagi bersama.

Sementara, Kepala Suku Sibau memberikan kenang-kenangan yang membuat merinding bagi penerimanya. Bock mendapatkan dua tengkorak lelaki dan perempuan tanpa rahang bawah. Semuanya dibungkus daun pisang.

Sibau juga memberikan kepada Bock sebuah perisai kayu yang dicat dengan pola warna semarak. "Perisai itu dipercaya sebagai harta istimewa," ungkap Bock, "berhiaskan helai-helai rambut yang diambil dari korban manusia."

Hasil penjelajahan di Samarinda - Tenggarong - Banjarmasin dan pedalaman Kalimantan, Bock menulis buku berjudul The Head-Hunters of Borneo yang terbit pada 1881, lengkap dengan 37 litografi dan ilustrasi. Dalam bukunya yang "sensasional" itu dia berkisah tentang peradaban Dayak dan kanibalisme antar suku.

The Headhunters Of Borneo 2nd Edition
Buku The Head-Hunters Of Borneo Edisi Kedua, diterbitkan di London 1882


Catatan :
  • Beberapa kutipan atau penggalan ungkapan Bock yang terkesan menyudutkan suku Dayak, khususnya Dayak Tring penulis ubah tanpa menghilangkan makna ungkapan dimaksud. Penilaian negatif Bock atas suku Dayak pada masa itu bisa dimaklumi megingat Bock adalah seorang naturalis merangkap pelancong yang hanya berbekal "Profil Generic" tentang "kebiadaban" suku Dayak dari pemerintah Hindia Belanda dan orang-orang Melayu di pesisir.
  • Kata "Dayak" pertama kali muncul pada tahun 1757 dalam tulisan  J. A. van Hohendorff   yang berjudul "Radicale Beschrijving van Banjermassing" yang dipakai untuk menyebut "orang-orang liar di pegunungan" (1862: 188). Tampaknya, kata ini dipungutnya begitu saja dari cara orang-orang  Melayu pantai menyebut orang pedalaman.
  • J. A. Crawfurd dalam bukunya yang berjudul "A Decriptive Dictionary of The Indian Islands and Adjacent Cauntries" (1856: 127) menyatakan bahwa istilah "Dyak" digunakan oleh orang-orang Melayu  untuk menunjukan "ras liar" yang tinggal di Sumatera, Sulawesi dan terutama di Kalimantan.
  • Berbeda dengan kesan yang digambarkan oleh orang asing lainnya yang pernah tinggal dan hidup bersama suku Dayak di pedalaman Kalimantan, yaitu Bapak Antonino Ventimiglia seorang missionaris utusan dari Vatikan yang mengabdikan hidupnya bagi suku Dayak sekitar tahun 1689 - 1693. Baca kisahnya di artikel : Antonino Ventimiglia dan Suku Dayak Ngaju!


Sumber tulisan :
  • Mahandis Y. Thamrin. 2014. "135 TAHUN PENJELAJAHAN CARL BOCK". Lelaki Norwegia Penjelajah Kalimantan 1879, Pencarian Ras Manusia Berekor di Kalimantan, Carl Bock Berjumpa dengan Suku Dayak Pemakan Manusia! (Online) http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/02/lelaki-norwegia-penjelajah-kalimantan-1879, http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/02/pencarian-ras-manusia-berekor-di-kalimantan, http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/02/carl-bock-berjumpa-dengan-suku-dayak-pemakan-manusia (diakses Januari 2016)
  • Marko Mahin. 2014. "Identitas Sosial Dayak Kalimantan Tengah". (Online) http://markomahin.blogspot.co.id/2014/01/identitassosial-dayak-kalimantan-tengah.html (diakses Januari 2016)

Sumber foto :
  • Wikimedia Commons. 2009. "Berkas:Carl Bock.png". URL: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/f0/Carl_Bock.png
  • Wikimedia Commons. 2010. "Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Kleurenlitho getiteld Overtocht over de rivier Benangan TMnr 5795-33.jpg" URL: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/9/9a/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Kleurenlitho_getiteld_Overtocht_over_de_rivier_Benangan_TMnr_5795-33.jpg
  • Wikimedia Commons. 2010. "File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Kleurenlitho getiteld Priesteres der Tring-Dajaks TMnr 5795-18.jpg". URL: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/9/9e/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Kleurenlitho_getiteld_Priesteres_der_Tring-Dajaks_TMnr_5795-18.jpg
  • Wikimedia Commons. 2010. "File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Kleurenlitho getiteld Sibau Mobang hoofd der cannibalen TMnr 5795-16.jpg". URL: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/4/4e/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Kleurenlitho_getiteld_Sibau_Mobang_hoofd_der_cannibalen_TMnr_5795-16.jpg
  • ViaLibri. "The Head-Hunters Of Borneo - Bock, Carl - 1882. [895596]". URL: https://www.vialibri.net/item_pg_i/895596-1882-bock-carl-the-head-hunters-borneo.htm
loading...
loading...
Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar Yang Anda Sukai

No comments